Rabu, 09 Juli 2008

BAHASA JURNALISTIK

BAHASA JURNALISTIK

Oleh Rahman Sabon Nama
Disampaikan pada ‘In House Training” untuk wartawan Fajar Bali
Denpasar, 7 Juni 2008.

Pengantar

Seorang wartawan atau jurnalis, sebenarnya adalah seorang pembual, karena melalui bahasa tulisannya, dia bisa memberikan informasi yang membuat pembaca berdecak kagum, bisa membangkitkan emosi pembaca sehingga meneteskan air mata atau malah menyulut amarah pembaca atas apa yang sedang dibacanya sehingga dapat bertindak anarkis. Tentu, apa yang disampaikan berdasarkan fakta yang diperoleh wartawan. Sebaliknya, seorang wartawan akan menjadi sasaran premanisme atau dicap sebagai wartawan brengsek jika apa yang ditulisnya tidak sesuai fakta, mencampuradukkan antara opini pribadi dengan fakta, atau tak bisa menahan diri dengan menurunkan berita bersifat sensitif yang bernuansa SARA.
Di sinilah kemampuan seorang wartawan sangat dituntut agar mampu membahasakan apa yang ketahuinya ke dalam media massa (cetak) secara transparan dan berimbang. Pengalaman beberapa pemilik media cetak menunjukkan, selama ini kesulitan yang paling besar dihadapi seorang wartawan senior sekalipun adalah soal bahasa. Karenanya, dalam merekrut wartawan, kemampuan berbahasa Indonesia kini menempati bobot teratas, setelah kemampuan akademis sesuai bidang ilmunya.
Selain tuntutan dasar tadi, agar sebuah berita menjadi enak dibaca, maka seorang wartawan harus pandai memilih kata (diksi) lalu meramu kata dalam bahasa yang mudah dimengerti, dengan berprinsip ekonomi kata, menggunakan bahasa denotatif dan bukan konotatif.

A. Rumus penulisan berita: 5W + 1H

1. What : Apa yang terjadi, misalnya kecelakaan lalu lintas.
2. Where: Di mana kejadiannya: tempat, jalan, kota, desa.
3. When: Kapan peristiwa itu terjadi: hari, tanggal, jam.
4. Why : Mengapa hal itu bisa terjadi: apakah karena pengendara kurang hati-hati atau dalam kondisi mabuk misalnya, gambarkan situasi pada saat itu (sepi, ramai, jalan menikung dan sebagainya).
5. Who : Siapa-siapa yang terlibat dalam peristiwa itu.
6. How : Bagaimana uraian kejadiannya: kronologis kejadian, akibat kejadian misalnya korban tewas, luka berat dan kondisi kendaraan masing-masing. Tanyakan saksi mata atau keterangan petugas yang ada di tempat kejadian perkara (TKP), atau petugas lain yang berkompeten.

Contoh Berita:
Bintang Sepak Bola Argentina Kecelakaan di Bali
Hanya Beberapa Saat Setelah Mendarat dengan Pesawat Pribadi >> Sub Judul

DENPASAR-Fajar Bali
Apes benar nasib Diego Maradona (45) saat berlibur di Bali. Legenda hidup sepak bola dunia asal Argentina itu harus kehilangan kaki kirinya setelah mengalami kecelakaan lalu lintas di Jalan By Pass Ngurah, tepatnya di pintu gerbang (gapura) kawasan wisata Nusa Dua, Kamis (8/11) kemarin, sekitar pukul 15.30 Wita. Kejadian naas itu hanya berselang beberapa menit setelah Maradona yang ditemani istrinya, Claudia, mendarat mulus di Bandara Ngurah Rai, Tuban, Kuta, dengan pesawat pribadinya. Akibat kecelakaan itu, kaki kiri Maradona remuk, sementara istrinya, Claudia, dan sang supir Made Astawa, dilaporkan dalam keadaan selamat.
I Gusti Ngurah Adnyana, seorang saksi mata di tempat kejadian perkara (TKP) menuturkan, persitiwa maut itu berawal dari kedatangan mobil Jaguar warna hitam dari arah utara dalam kecepatan tinggi. “Dari belakangnya, melaju kencang beberapa sepeda motor, terlihat ada beberapa orang yang dibonceng membidikan camera ke arah mobil Jaguar tadi. Tiba di TKP, ada polisi tidur, sehingga mobil terlihat melayang dan oleng ke kanan. Rupanya, supir kaget dan tak bisa menguasai kendaraannya. Pada saat bersamaan, dari arah berlawanan melaju sebuah taksi dengan kecepatan sedang. Kecelakaan tak bisa dihindari. Tabrakan mautpun terjadi,” kata saksi mata, yang tak lain adalah seorang security yang bertugas di gapura Nusa Dua itu. “Jadi, sebenarnya, mobil Jaguar yang menabrak taksi,” tegasnya.
Adnyana mengisahkan, akibat kerasnya tabrakan, mobil Jaguar ringsek. Seorang penumpang yang duduk di sebelah kanan mengalami luka berat dan sulit dikeluarkan dari mobil. Sementara wanita yang duduk di sampingnya selamat. “Anehnya, supir Jaguar dan supir taksi juga tak mengalami apa-apa,” kata Adnyana, heran.
Ketika diberitahu Fajar Bali bahwa penumpang yang luka berat itu adalah legenda sepak bola Maradona, Adnyana kaget bukan kepalang. “Masak tadi Maradoan?,” ujarnya seperti tak percaya.
Dari RSUP Sanglah dilaporkan, mengutip keterangan dokter yang menangani Maradona, kaki kirinya tak bisa perbaiki (dioperasi) karena kondisinya sangat para. “Satu-satunya jalan, ya, amputasi (dipotong-Red),” kata dr. Bagus Susila, salah seorang tim dokter yang menanganinya.
Kecelakaan maut yang nyaris merenggut nyawa Maradona ini tentu saja menjadi berita heboh, tidak hanya di RSUP Sanglah, tetapi juga aparat kepolisian. Selang sejam setelah Maradona tiba di Wing Internasional, RSUP Sanglah, Kapolda Bali Irjen Pol. Drs. Paulus Purwoko bersama Kadit Lantas Polda Bali Kombes Anton Setiabudi, Kabid Humas Polda Bali Kombes AS Reniban, SMIK, dan Kapoltabes Denpasar Kombes Yovianes tiba di Wing Internasional untuk membesuk Maradona.
Kepada pers, Paulus Purwoko mengatakan, setelah dilakukan oleh TKP dan memeriksa saksi supir mobil Jaguar, istri Maradona, supir taksi, dan saksi mata, diperoleh gambaran bahwa peristiwa tabrakan ini murni kecelakaan. “Supirnya tidak bisa mengendalikan kendaaraannya saat memasuki pintu gerbang Nusa Dua. Karena dikejar-kejar wartawan yang ingin memotret, Maradona memerintahkan supir untuk melaju mobil dengan kecepatan tinggi,” bebernya.
Mengenai kondisi mobil Maradona dan taksi, Kapolda mengatakan bagian kanan mobil Jaguar rusak berat, begitu juga bagian depan taxi. “Kedua mobil itu sudah kita amankan di Mapolda sebagai barang bukti,” katanya.***

Inti Berita.
Inti dari berita di atas adalah: Maradona mengalami kecelakaan lalulintas yang mengakibatkan kaki kirinya hilang hanya beberapa saat setelah mendarat di Bali untuk berlibur

Perhatikan rumus di atas
What : Ada peristiwa kecelakaan lalu lintas antara mobil Jaguar dan taksi.
When : Kamis, 8 November 2007, tetapi dalam berita cukup ditulis (8/11). Kejadiannya sekitar pukul 15.30 Wita.
Where : Di pintu gerbang kawasan wisata Nusa Dua
Who : Maradona (karena public figure se-jagad sehingga harus ditonjolkan), istri Maradona, Claudia, Made Astawa (supir Jaguar), dan supir taksi.
Why : Supir kaget. Mobil Jaguar oleng ke kanan dan tak biasa dikendaliakn sipir sehingga menbarak taksi yang dating dari arah berlawanan.
How : Karena dikejar wartawan (fotografer) untuk memotretnya, Mardaona memerintahkan supirnya melaju kendaraannya dalam kecepatan tinggi. Begitu memasuki kawasan Nusa Dua, ada tanjakan buatan alias polisi tidur, sehingga mobil melayang dan oleh ke kanan. Akibatnya, kaki kiri Maradona dan akan diamputasi.

Informasi Pelengkap
Informasi tambahan yang membuat berita Maradona lebih menarik lagi dan lengkap karena ada keterangan dari saksi mata yang melihat kejadiannya, dokter RSUP Sanglah yang menangani Maradona, maupun Kapolda Bali. Dalam kasus kecelakaan lalu lintas, biasanya tingkatan polisi yang paling tinggi memberikan keterangan adalah Kasat Lantas Polres atau Poltabes. Dalam contoh ini sengaja ditulis Kapolda Bali yang memberikan keterangan mengingat Maradona adalah public figure dunia.
Teknik Menulis Berita
Dengan mengacu kepada rumus 5 W + 1 H tadi, maka seharusnya untuk menulis berita adalah perkara gampang, namun bagi wartawan pemula masih mendapat kendala teknis memulainya. Tetapi untuk gampangnya, ikutilah angkah-langkah berikut:
1. Tulis apa adanya sampai semua yang ada di kepala dituangkan dalam bentuk tulisan, jangan berhenti di tengah jalan.
2. Periksa kembali dari awal hingga akhir, apakah unsur-unsur 5 W + 1 H sudah terpenuhi.
3. Kalau formula itu sudah terpenuhi, periksa kembali naskah tersebut untuk mencari di mana inti beritanya, apakah di atas (piramida terbalik), di tengah (sistim drop caps) atau inti beritanya di alinea terakhir (sistim piramida).
Sistim Piramdia terbalik adalah sistim penulisan berita dengan menempatkan inti berita pada alinea pertama, semakin ke bawah semakin tidak penting, sehingga memudahkan redaktur untuk membuang informasi yang kurang relevan.
Sistim drop caps adalah menempatkan inti berita pada alinea di tengah suatu berita, sehingga alinea awal atau akhir hanya melengkapi saja.
Sistim piramida. Pola ini kebalikan dari Piramida Terbalik di atas, yakni penulisan suatu berita dengan menempatkan inti berita pada aline akhir, sedangkan semakin ke atas hanyalah bumbu penyedap untuk menggiring pembaca agar membaca hingga akhir.
Sistim ini umumnya digunakan untuk memancing orang agar penasaran sehingga berkeinginan untuk membaca berita tersebut sampai akhir. Contoh, biasanya untuk berita tentang latihan perang, latihan penaggulangan terorisme, simulasi penanganan bencana alam, atau simulasi pertolongan penumpang pada kecelakaan pesawat terbang. Sebab, berita semacam itu kalau intinya ditempatkan pada awal alinea, maka pembaca akan bergumam, “ oh… hanya sekadar latihan!”
Nah, kalau seorang wartawan atau redaktur mampu meramu berita semacam itu sehingga sanggup menggiring pembaca hingga akhir kalimat, pastilah pembaca akan berkata begini: Sialan… kita tertipu, hanya sekadar latihan.
4. Langkah terakhir adalah memeriksa seluruh naskah berita secara saksama, apakah sudah menggunakan prinsip ekonomi kata, tidak keluar dari Ejaan Yang Disempurnahkan (EYD) maupun struktur kalimatnya. Prinsip ekonomi kata adalah menghindari kata yang sama dalam satu alinea atau menghilangkan kata yang tak perlu.


B-Bahasa Jurnalistik
‘Tak Sudi Disalahi”, Itulah judul sampul majalah GATRA terbitan pertengahan tahun 2006 melengkapi foto close up Menteri Negara/Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi di halaman depan majalah tersebut. Laporan utama GATRA menyingkap dugaan mark up renovasi gedung Kedubes RI di Seoul, Korea Selatan. Sudi Silalahi yang bertanggungjawab atas proyek itu disebut-sebut ikut bermain. Namun, seperti umumnya para pejabat kita, Sudi tak mau disalahi. Itulah yang mengilhami tim kreatif GATRA mendisain sampul dengan memasukan kalimat sangat menarik yang merupakan pelesetan dari nama Sudi Silalahi sendiri.
Jadi, judulnya saja sudah bagus, apalagi isinya. Inilah yang membangkitkan rasa ingin tahu pembaca dan dengan begitu tak bosan melahap sebuah tulisan yang panjangnya mencapai 10.000 karakter atau seluas halaman surat kabar atau setebal sebuah majalah. Karena tulisannya ‘Enak Dibaca dan Perlu’ seperti motto majalah TEMPO.
Dalam bahasa jurnalistik, judul memegang peranan yang sangat penting, karena judul yang tepat akan membangkitkan keingintahuan seseorang untuk mebaca isi beritanya. Karenanya, pemilihan kata (diksi) untuk sebuah judul sangatlah menentukan dalam bahasa jurnaslistik. Sebuah berita yang heboh atau bagus sekalipun, tidak akan pernah diketahui orang lain-karena tidak pernah dibaca-jika judulnya tidak menarik.
Meski begitu, untuk berita-berita tentang kesusilaan dan kekerasan terhadap anak-anak, sedapat mungkin judul maupun isi beritanya menghindari pelecehan terhadap harkat dan martabat wanita. Begitu juga judul maupun berita tentang anak di bawah umur, tidak boleh menimbulkan trauma bagi si anak. Untuk berita-berita demikian, nama dan alamat korban (wanita dan anak-anak) wajib hukumnya untuk dirahasiakan.
Lalu apakah ada bahasa jurnaslitik? Ya jelas ada dong? Menurut Rosihan Anwar, wartawan empat zaman, bahasa jurnaslistik adalah satu ragam bahasa yang digunakan wartawan yang memiliki sifat-sifat khas: singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas, dan menarik.
TD Asmadi, wartawan senior KOMPAS, mengatakan, bahasa jurnalistik berada di tengah antara bahasa ilmu dan bahasa sastra. Bahasa ilmu biasaya penuh fakta, kering dan tidak bergaya. Bahasa jurnalistik tetaplah harus bersandar pada fakta, tetapi harus ada gayanya.
Bahasa jurnaslitik ditulis dengan mempertimbangkan ruang dan waktu, karena itu unsur kehematan dan efektivitas sangat penting. Tidak mungkin kita menulis untuk media massa semau kita dengan tidak memperhitungkan ruang dan waktu yang tersedia (deadline). Bahasa jurnalistik juga perlu mempertimbangkan pasar (pembaca).
Asmadi memberi ciri-ciri bahasa jurnalistik haruslah singkat, padat, sederhana, lugas, menarik.
Singkat artinya menghindari penjelasan yang panjang dan bertele-tele. Padat artinya bahasa jurnalistik yang singkat itu tetapi mampu menyampaikan informasi yang lengkap. Semua yang diperlukan pembaca sudah tertampung didalamnya. Menerapkan prinsip 5 W + 1 H, membuang kata-kata mubazir dan menerapkan ekonomi kata. Sederhana artinya bahasa pers sedapat-dapatnya memilih kalimat tunggal dan sederhana, bukan kalimat majemuk yang panjang, rumit, dan kompleks. Lugas artinya bahasa pers mampu menyampaikan pengertian atau makna informasi secara langsung dengan menghindari bahasa yang berbunga-bunga. Menarik artinya dengan menggunakan pilihan kata (diksi) yang masih hidup, dan berkembang. Menghindari kata-kata yang sudah mati. Jelas, artinya informasi yang disampaikan dengan mudah dapat dipahami oleh khalayak umum (pembaca). Struktur kalimatnya tidak menimbulkan penyimpangan atau pengertian makna yang berbeda, menghindari ungkapan bersayap atau bermakna ganda (ambigu). Oleh karena itu, seyogyanya bahasa jurnalistik menggunakan kata-kata denotatif, bukan konotatif.

C-Kesalahan Umum yang Sering Dijumpai
Seorang wartawan atau jurnalis karena profesinya begitu, maka seharusnya tidak boleh membuat kesalahan-kesalahan yang tak perlu ketika membuat berita. Umumnya, kesalahan yang ditemui berkutat pada:
1. Penggunaan EYD (Ejaan Yang Disempurnahkan)
2. Penggunaan tanda baca (punctuasi)
3. Penggunaan huruf capital
4. Penggunaan kata-kata tak baku
5. Kurang memahami gramatikal
6. Kurang memahami istilah umum atau istilah khusus sesuai bidang tugasnya, di mana dia di-pos-kan.

SARAN
Seorang wartawan harus melengkapi diri dengan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Kamus Bahasa Inggris, Kamus Populer, atau istilah medis, farmasi, pertanian, teknik, dan lain-lain sesuai pos-nya.

Kebiasaan yang Salah
Selain itu, juga dijumpai seorang wartawan mempunyai kebiasaan yang salah tanpa disadarinya, antara lain:
1. Penggunaan kata “Menurut” dan “Mengatakan”.
Contoh yang salah:
Menurut Gubernur Bali, Dewa Made Beratha, mengatakan bahwa tragedi Bom Bali I, 12 Oktober 2002 …
Yang benar adalah gunakan salah satu, kalau mau pakai “Menurut” maka tak perlu lagi “Mengatakan”. Atau sebaliknya
Contoh perbaikan:
Menurut Gubernur Bali, Dewa Made Beratha, tragedy Bom Bali I, 12 Oktober 2002…
Gubernur Bali, Dewa Made Beratha, mengatakan, tragedy Bom Bali I, 12 Oktober 2002…
Menggunakan kata menurut dan mengatakan bersamaan adalah mubazir, tidak berpedoman pada prinsip ekonomi kata.

2. Penggunaan kalimat “di antaranya”. Kalimat ini dipakai untuk menyebut beberapa sekadar mewakili jumlah atau satuan tertentu.

Contoh yang salah:
10 orang yang mengikuti test wartawan, hanya ada lima orang yang dinyatakan lulus ujian calon wartawan, diantaranya Putu, Made, Nyoman, Ketut, dan Agus.

Komentar:
1. Penulisan angka (10) di awal kalimat harus didahului dengan kata sebanyak, sedikitnya, tak kurang atau dari.
2. Penulisan kata diantaranya juga salah, di dan antaranya harus terpisah.
3. Kalau sudah menggunakan kata di antaranya, dimaksudkan untuk menyebut beberapa, jangan ditulis semuanya karena menjadi mubazir.

Contoh perbaikan:
Dari 10 orang yang mengikuti test wartawan, hanya ada lima orang yang lulus ujian calon wartawan, di antaranya Putu dan Made.
Atau
Sebanyak 10 orang… dan seterusnya
Jadi, penggunaan kata di antaranya hanya menyebut dua atau tiga orang untuk mewakili lima orang yang lulus tadi.

3. Menulis angka atau nama bilangan
Menurut aturan tata bahasa Indonesia, angka di bawah 10 harus ditulis dengan huruf: satu, dua, tiga,… sembilan. Sedangkan angka 10 ke atas ditulis dengan lambang bilangan: 10, 20, 10.000

Contoh dalam judul berita :
Enam Orang Teroris Ditembak Mati
Gempa Guncang Flores, 1.000 Orang Tewas
15 Orang TKI Tewas di Malaysia

Contoh dalam tubuh berita:
Kecelakaan maut itu menewaskan tiga orang penumpang mobil dan melukai dua orang pejalan kaki.

Majelis hakim memvonisnya dengan pidana penjara selama enam tahun dipotong masa tahanan.

Sedikitnya 700 orang dinyatakan tewas, 50 orang masih hilang dan seorang bayi ditemukan dalam keadaan selamat akibat bencana banjir dan tanah longsor di Ruteng, Kabupaten Manggarai, NTT.

4. Menerangkan yang tak perlu
Kebiasaan wartawan yang salah berikutnya adalah maksudnya menerangkan sesuatu, tetapi sebenarnya tak perlu, karena menjadi mubazir. Tidak berprinsip ekonomi kata.

Contoh yang salah
Bupati Badung, Anak Agung Gde Agung, S.H., mengatakan persoalan flu burung (avian inflienza-Red) sebenarnya sudah mendapat perhatian kami (Pemkab Badung-Red).

Komentar
Penggunaan akronim “Red” pada contoh di atas tidaklah tepat karena mubazir. Jadi, cukup (avian influenza) dan (Pemkab Badung).

Yang Benar
Bupati Badung, Anak Agung Gde Agung, S.H., mengatakan persoalan flu burung (avian influenza) sebenarnya sudah mendapat perhatian Pemkab Badung.

Akronim “Red” biasanya digunakan oleh wartawan/redaktur untuk memperjelas keterangan atau informasi yang dikutip langsung dari narasumber yang kemudian menjadi kutipan langsung dalam kalimat berita.

Contoh;
Bupati Kabupaten Adonara, Pulau Adonara, NTT, Rahman Sabon Nama, S.E., mengatakan, dalam waktu dekat pihaknya akan segera menandatangani perjanjian kerja sama dengan Gubernur Negara Bagian Sabah, Malaysia, Datuk Husein Mahmud, tentang Legalisasi Pintu Masuk Tarakan Bagi Warga Adonara (LPMT-BWA). “Kasihan kan saudara kita, bekerja di sana (Sabah-Red) tetapi selama ini dianggap pendatang haram (sebuatan Malaysia bagi orang asing yang tidak memiliki paspor atau ada paspor tetapi visanya tidak sesuai tujuan kedatangan-Red),” katanya.

5. Penulisan nama gelar, pangkat, jabatan, tanda kehormatan; dan tanggal kejadian secara benar.

Meski sepele, ternyata banyak juga wartawan belum bisa menempatkan penulisan nama gelar, pangkat, jabatan, tanda kehormatan, tanggal, bulan dan tahun kejadian secara benar dalam kalimat.

Contoh yang salah:
Bupati Jembrana, Prof DR Drg I Gede Winasa, mengatakan dalam waktu dekat kabupaten di ujung barat Pulau Bali ini akan memiliki pelabuhan mewah untuk kapal pesiar (cruise). Hal itu dikatakan Prof DR Drg I Gede Winasa kepada wartawan usai menerima staf PT Timur Raya yang mempersentasikan proposal pembangunan pelabuhan cruise di kantor bupati Jembrana, Rabu (12/10/2007).

Contoh yang benar:
Bupati Buleleng, Prof. Dr. Drg. I Gede Winasa, mengatakan dalam waktu dekat kabupaten di ujung barat Pulau Bali ini akan memiliki pelabuhan mewah untuk kapal pesiar (cruise). Hal itu dikatakan Gede Winasa kepada wartawan usai menerima staf PT Timur Raya yang mempersentasikan proposal pembangunan pelabuhan cruise di kantor bupati Buleleng, Rabu (12/10).

Komentar:
1. Singakatan nama gelar diakhiri dengan tanda titik
2. Singkatan gelar doctor ditulis Dr. bukan DR.
3. Gelar di belakang nama orang didahulu dengan tanda koma
Contoh:
Putu Bagiada, M.M. bukan Putu Bagiada MM
Sabon Nama, S.E. bukan Sabon Nama SE
Prof. Dr. dr. I Wayan Wita, Sp.JP bukan Pro Prof DR Dr I Wayan Wita SpJP
Perhatian
Untuk membedakan gelar doctor dan dokter pada nama orang seperti gelar Wayan Wita ditulis seperti di atas (Prof. Dr. dr. I Wayan Wita, Sp.JP.)
6. Penulisan Akronomi atau singkatan
Contoh yang salah:
UNUD, DEPKES, KODAM, POLDA, POLSEK POLTABES, POLRES, dll

Yang benar:
Unud, Depkes, Kodam, Polda, Polsek, Poltabes, Polres

Komentar:
1. Akronim yang merupakan gabungan huruf awal beberapa kata harus ditulis dengan huruf besar. Contoh: KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia), PON (Pekan Olahraga Nasional), IDI (Ikatan Dokter Indonesia).
2. Akronomi yang merupakan gabungan huruf beberapa kata ditulis dengan huruf kecil. Contoh: Unud (Universitas Udayana), Depkes (Departemen Kesehatan), Kodam (Komando Daerah Militer), Polda (Kepolisian Daerah), Poltabes (Kepolisian Kota Besar), Polres (Kepolisian Resort), Polsek (Kepolisian Sektor)
Catatan:
Menurut aturan tata bahasa Indonesia, kata yang diambil dari akronim beberapa kata tidak boleh melebihi jumlah huruf dalam kata Indonesia asli.
Karena itu, singakatan yang tepat untuk menyebut satuan pada kepolisian atau militer adalah sebagai berikut:
Sat Lantas, Kasat Lantas bukan Kasatlantas; Sat Reskrim, Kasat Reskrim bukan Kasatreskrim, Sat Intelkam, Kasat Intelkam bukan Kasatintelkam; Dit Reskrim, Kadit Reskresim, Menko Polhukkam, Kapolda, Waka Polda, Kapoltabes, Waka Poltabes, Kapolres, Waka Polres, Kapendam IX/Udayana, Kapenrem 163/Wirastya, Kasi Intel Kodam IX/Udayana.

Kecuali:
Kata atau isltilah atau akronim yang sudah menjadi produk hukum atau dokumen sejarah, maka harus tetap ditulis apa adanya.

7. Tidak tepat menggunakan huruf capital

Contoh yang salah:
Di hadapan Polisi, tersangka mengaku …
Rabu siang kemarin, aksi massa calon kades yang kalah mengepung Kantor Bupati Badung…
Menurut Gubernur, masalah itu gampang diatasi.
Pada kesempatan itu, Gubernur Bali mengatakan ….
Pada kesempatan itu, gubernur Bali, Dewa Made Beratha, mengatakan …

Yang benar adalah:
Di hadapan polisi, tersangka mengaku…
Rabu siang kemarin, aksi massa calon kades yang kalah mengepung kantor bupati Badung.
Menurut gubernur, masalah itu gampang diatasi.
Pada kesempatan itu, gubernur Bali mengatakan …
Pada kesempatan itu, Gubernur Bali, Dewa Made Beratha, mengatakan …

8.Tidak tepat menulis julukan seseorang atau nama negara, kabupaten, kota atau wilayah tertentu.

Untuk menulis julukan atau sebutan demikian dalam kalimat berita, huruf awalnya dimulai dengan hurif besar, atau kalau menggunakan huruf kecil semua harus ditulis dengan tanda petik atau huruf miring, untuk membedakan istilah tersebut dalam arti sesunguhnya. Kalau letaknya di awal aliena, mengikuti kaidah bahasa Indonesia yang berlaku.

Contoh yang benar:
Sembilan orang warga Negeri Kanguru ditangkap di Bali.
Sembilan orang warga negeri kanguru itu ditangkap karena membawa heroin.
Akihiro Kyoko, asal negeri matahari terbit itu ternyata seorang PSK.
Ibukota Kabupaten Gianyar adalah Gianyar yang dujuluki Kota Seni dan Budaya.
Pemkot Batu yang dijuluki Kota Apel berkunjung ke Lumbung Beras-nya Bali, Tabanan.
Benazir Bhutto, pewaris dinasty Bhuto itu akhirnya selamat dari ledakan bom mobil.
Wanita besi itu akhirnya mengundurkan diri sebagai PM Inggris.
9. Bingung menempatkan kata di sebagai kata depan dan sebagai kata kerja.
Perlu diingat (lihat EYD), kata depan di, ke, dari, harus ditulis dengan huruh kecil dan terpisah dari kata yang mengikutinya, kecuali ditempatkan pada awal kalimat.
Sedangkan kata di yang merupakan kata kerja harus ditulis dengan kata yang merangkainya.

Conto yang benar:
Kata Depan
Tabrakan maut itu terjadi di Jalan Raya Kuta No. 12 Kuta.
“Yah…, begitulah,” kata Lanang Rudiartha, saat ditemui di ruang kerjanya.
“Saya siap diturunkan jika gagal mengentaskan kemiskinan di tahun pertama kepemimpinan saya,” tegas Winasa di hadapan wartawan di Denpasar.
Di Bali, Maradona Tewas di samping istrinya.
Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma.
Ke Jakarta, DPRD Badung Boyong Istri.
Tolong bawakan buku itu ke rumah Ayu.
Di sini saya terpeleset, ke sana saya takut, ke situ saya tak mau.
Biar aman, ke depan harus dilengkapi metal tetecetor di pintu masuk hotel.


Kata Kerja
Gadis itu mengaku diperkosa.
Tiga pring RW telah habis dimakannya.
Dia mengaku dipukul, ditentang, dan dicacimaki.

Masih bingung juga? Ada cara gampang untuk menulis kata di yang digabung atau di yang terpisah. Ganti kata kata di atau ke dengan dari, lalu tulis terpisah atau digabung dengan kata yang mengikutinya, anda akan tahu perbedaannya.
Contoh:
1. Demikian laporan wartawan kami di Denpasar.
Coba ganti di Denpasar dengan dari Denpasar.
1.a.Demikian laporan wartawan kami dari Denpasar

2. Saya tak mau datang, takut dimakan.
Coba ganti dimakan dengan dari makan.
2.a. Saya tak mau datang, takut dari makan.

3. Maling itu diuber sampai ke rumahnya.
Coba ganti ke rumahnya dengan dari rumahnya.
3.a. Maling itu diuber sampai dari rumahnya.

4. Pantau Koran dilapangan, dilokasi itu terdapat...
Coba ganti kata dilapangan dan dilokasi dengan kata darilapangan dan darilokasi.

Saya yakin anda bisa membedakannya!


E. Features
Adalah tulisan ringan dengan bahasa yang yang enak dibaca tetapi tetap berdasarkan fakta, atas suatu peristiwa yang menjadi sorotan publik karena mengandung human interst tinggi, atau ulasan terhadap suatu daerah, tokoh, lembaga yang perlu diketahui masyarakat.

Contoh:
Enam Tahun Perjuangan Elysabeth Mendapat Hak Asuh Anak >> kecil
Pasrahkan Keberuntungan Pada Hati Nurani Hakim
Tak ada istilah patah semangat. Itulah seuntai kalimat yang tepat menggambarkan perjuangan Elysabeth CH mendapatkan hak asuh atas anak semata wayang, Ramanda Prabu Swara (12), buah perkawinannya dengan Agus Dwi Atmaja. Khawatir dikalahkan hakim seperti enam tahun lalu, Komnas Anak pun didatangkan bahkan kini dia terpaksa gonta ganti pengacara. Meski begitu, dia berharap pada hati nurani hakim agar keputusannya nanti benar memenuhi rasa keadilan. Berikut kisahanya, seperti dituturkan di Loby Kejaksaan Negeri Denpasar, Senin (24/9), kepada Wartawan Fajar Bali, Rahman Sabon Nama.

Bayangkan, vonis majelis hakim PN Denpasar enam tahun lalu yang dipimpin Sudarjatno, S.H., dengan anggota Istiningsih, S.H., dan RR. Suryowati, S.H. mengabulkan gugatan cerainya terhadap suaminya Agus Dwi Atmaja, ternyata menjadi titik awal terpisahnya Elysabeth dengan Rama-panggilan akrab Ramanda-yang saat itu masih berusia di bawa lima tahun yang seharusnya berada dalam asuhannya.
Dalam putusan tertanggal 1 Oktober 2006 atas perkara No. 171/Pdt.G/2001/PN.Dps, selain mengabulkan gugatan cerai Elys, soal anak ternyata majelis justru memberikan hak asuh atas anak kepada suaminya karena majelis ‘terbius’ keterangan saksi yang disodorkan Agus Dwi Atmaja maupun Agus sendiri yang selalu menilai negatif prilaku Elys sehingga tak pantas mengasuh anak. Sementara fakta-fakta yang disampaikan Elys dalam persidangan tak diakomodir hakim.
Elys yang saat itu didampingi tiga pengacara dari LBH Bali akhirnya kalah, apalagi salah seorang pengacara ini menginformasikan ada dugaan suap mewarnai sidang kasusnya. Sialnya, entah disengaja atau nyangkut di mana, salinan putusan itu baru diterima Elys setahun kemudian. Akibatnya, hak untuk mengajukan banding tak bisa dilakukannya karena sudah lewat waktu (kadaluarsa). Akibat selanjutnya, kesempatan Elys sebagai ibu kandungnya untuk bertemu Rama ibarat pungguk merindukan bulan. “Susahnya minta ampun, selalu dihalang-halangi ayah atau kakeknya,” terang wanita blasteran Solo-Bandung dan Belanda ini.
Sejak saat itulah Elys berjuang terus dan tak kenal lelah agar bisa bertemu anaknya, baik melalui bantuan guru-tempat Rama sekolah-bahkan hingga meminta bantuan Polda Bali. Tak hanya itu, 8 Juni 2007 Komnas Anak pun didatangkan untuk berbicara dengan Rama yang saat itu masih kelas VI SDK Soverdi, Tuban, Kuta. Sayang, Seto Mulyadi-Ketua Komnas Anak-tak bisa bertemu Rama karena saat itu dijaga ketat kakeknya, I Ketut Sumajaya.
Tak nayaman dengan situasi demikian, Elys menyurati Ketua Pengadilan Negeri Denpasar, I Putu Widnya, S.H., mengadukan permasalahannya. Dari sinilah dia mendapat gambaran agar mengajukan permohonan gugatan perwalian atas anaknya.
Namun, ketika sidang ini sudah berjalan, tiga pengacara yang mendampinginya, entah mengapa, sepertinya tak serius mengikuti sidang. “Yang satu sakit, satu lagi pindah ke Medan mengikuti suami, dan satunya lagi HP-nya sulit aktif. Dari dulu kok saya bermasalah terus dengan pengacara, kenapa ya,” gerutu Elys.
Selain persoalan pengacara tadi, Elys kini tak tenang dengan perubahan tingkah laku anaknya (Rama), seperti tampak pada sidang Pemeriksaan Setempat (PS) yang digelar majelis hakim Wayan Gede Wirya dan Ni Wayan Sudani di Sekolah Taman Rama, Jimbaran, 18 September 2007 lalu. Rama kini duduk kelas VII sekolah internasional itu. Ketika itu, menjawab Wirya dan Sudani untuk memilih siapa, ayah atau ibu, Rama justru menjawab memilih ayah. Dia mengaku tak punya perasaan apa-apa berpisah dengan ibunya, karena sudah lama tinggal dengan ayah.
Namun menurut Elys, perubahan sikap anaknya itu karena sudah direcoki oleh ayah atau keluarganya dengan kata yang serba negatif tentang dirinya. Yang pasti, tegas Elys, anak sekecil itu tak mungkin dipaksakan untuk mengambil keputusan. Jawaban Rama bukan cermin kedewasaan anak. “Inilah yang harus dipertimbangkan hakim,” pintanya.
Benarkah Rama tak sayang pada ibunya? Elys menyodorkan selembar catatan hasil wawancara Kepala SDK Soverdi, Elfrida A. Murniati, dengan Rama tanggal 21 April 2007 yang dilakukan sesaat setelah Rama menolak bertemu ibunya.
Salah satu pertanyaannya begini: Kenapa Rama bilang sama Pak Subur (perantara pertemuan-Red), kalau ibu mau bertemu, tunggu di rumah saja. Siapa yang ajarin? Rama menjawab, kakek (Ketut Sumajaya-Red). Pertanyaan lainnya begini: Hati kecil Rama kepingin sama siapa, kakek, nenek, papa atau mama? Rama menjawab, sama mama.
Sesudahnya, 9 November 2006, Rama juga pernah menyurati ibunya menyampaikan rasa kangen sekaligus meminta dibelikan sebuah laptop. “Biar bekas gak apa-apa, yang penting bisa belajar computer dan belajar bahasa Inggris,” pinta Rama. Itu artinya, mesti diplintir, anak kecil ini pasti lebih memilih mama dari papa.
Nah, ketika sidang hak perwalian ini memasuki tahap akhir alias keputusan majelis yang direncanakan awal Oktober 2007 mendatang, Elys memecat ketiga pengacaranya tadi. Ibarat pertandingan sepak boleh, manakala pertandingan sudah memasuki in jury time, justru Elys memecat ‘pelatihnya’ dan memasukan ‘pelatih’ baru Victor Yaved Neno, S.H. untuk memperjuangan nasibnya pada detik-detik terakhir. Dengan kata lain, perjuangan sudah total, tinggal menunggu keputusan hakim. “Saya yakin hati nurani hakim akan jujur menjatuhkan keputusannya berdasarkan fakta yang saya ajukan,” harap janda cantik ini.**

*) Pernah dimuat dalam Harian Fajar Bali Edisi 1591 tanggal 25 September 2007


TERIMA KASIH




The Elements of Journalism

Berikut ini adalah resensi buku "The Elements of Journalism" oleh Andreas Harsono, yang saya copy dari website. Sayang, saya lupa nama website tersebut. Untuk itu saya hohon maaf. Kepada saudara Andreas, jika anda sempat mampir ke blog saya, silahkan link apa saja, terutama tentang jurnalistik. Saya juga ingin berkenalan lebih jauh agar bisa aling tukar informasi. Terima kasih. Rahman

ANDREAS HARSONO

The Elements of Journalism:
What Newspeople Should Know and the Public Should Expect
Oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel


HATI nurani jurnalisme Amerika ada pada Bill Kovach. Ini ungkapan yang sering dipakai orang bila bicara soal Kovach. Thomas E. Patterson dari Universitas Harvard mengatakan, Kovach punya "karir panjang dan terhormat" sebagai wartawan. Goenawan Mohamad, redaktur pendiri majalah Tempo, merasa sulit “mencari kesalahan” Kovach, Wartawan yang nyaris tanpa cacat itulah yang menulis buku The Elements of Journalism bersama rekannya Tom Rosenstiel. Kovach memulai karirnya sebagai wartawan pada 1959 di sebuah suratkabar kecil sebelum bergabung dengan The New York Times, salah satu suratkabar terbaik di Amerika Serikat, dan membangun karirnya selama 18 tahun di sana.
Kovach mundur ketika ditawari jadi pemimpin redaksi harian Atlanta Journal-Constitution. Di bawah kepemimpinannya, harian ini berubah jadi suratkabar yang bermutu. Hanya dalam dua tahun, Kovach membuat harian ini mendapatkan dua Pulitzer Prize, penghargaan bergengsi dalam jurnalisme Amerika. Total dalam karirnya, Kovach menugaskan dan menyunting lima laporan yang mendapatkan Pulitzer Prize. Pada 1989-2000 Kovach jadi kurator Nieman Foundation for Journalism di Universitas Harvard yang tujuannya meningkatkan mutu jurnalisme.
Sedangkan Tom Rosentiel adalah mantan wartawan harian The Los Angeles Times spesialis media dan jurnalisme. Kini sehari-harinya Rosenstiel menjalankan Committee of Concerned Journalists –sebuah organisasi di Washington D.C. yang kerjanya melakukan riset dan diskusi tentang media.
Dalam buku ini Bill Kovach dan Tom Rosenstiel merumuskan sembilan elemen jurnalisme. Kesimpulan ini didapat setelah Committee of Concerned Journalists mengadakan banyak diskusi dan wawancara yang melibatkan 1.200 wartawan dalam periode tiga tahun.
Sembilan elemen ini sama kedudukannya. Tapi Kovach dan Rosenstiel menempatkan elemen jurnalisme yang pertama adalah kebenaran, yang ironisnya, paling membingungkan.
Kebenaran yang mana? Bukankan kebenaran bisa dipandang dari kacamata yang berbeda-beda? Tiap-tiap agama, ideologi atau filsafat punya dasar pemikiran tentang kebenaran yang belum tentu persis sama satu dengan yang lain. Sejarah pun sering direvisi. Kebenaran menurut siapa?
Bagaimana dengan bias seorang wartawan? Tidakkah bias pandangan seorang wartawan, karena latar belakang sosial, pendidikan, kewarganegaraan, kelompok etnik, atau agamanya, bisa membuat si wartawan menghasilkan penafsiran akan kebenaran yang berbeda-beda?
Kovach dan Rosenstiel menerangkan bahwa masyarakat butuh prosedur dan proses guna mendapatkan apa yang disebut kebenaran fungsional. Polisi melacak dan menangkap tersangka berdasarkan kebenaran fungsional. Hakim menjalankan peradilan juga berdasarkan kebenaran fungsional. Pabrik-pabrik diatur, pajak dikumpulkan, dan hukum dibuat. Guru-guru mengajarkan sejarah, fisika, atau biologi, pada anak-anak sekolah. Semua ini adalah kebenaran fungsional.
Namun apa yang dianggap kebenaran ini senantiasa bisa direvisi. Seorang terdakwa bisa dibebaskan karena tak terbukti salah. Hakim bisa keliru. Pelajaran sejarah, fisika, biologi, bisa salah. Bahkan hukum-hukum ilmu alam pun bisa direvisi.
Hal ini pula yang dilakukan jurnalisme. Bukan kebenaran dalam tataran filosofis. Tapi kebenaran dalam tataran fungsional. Orang butuh informasi lalu lintas agar bisa mengambil rute yang lancar. Orang butuh informasi harga, kurs mata uang, ramalan cuaca, hasil pertandingan bola dan sebagainya.
Selain itu kebenaran yang diberitakan media dibentuk lapisan demi lapisan. Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh tabrakan lalu lintas. Hari pertama seorang wartawan memberitakan kecelakaan itu. Di mana, jam berapa, jenis kendaraannya apa, nomor polisi berapa, korbannya bagaimana. Hari kedua berita itu mungkin ditanggapi oleh pihak lain. Mungkin polisi, mungkin keluarga korban. Mungkin ada koreksi. Maka pada hari ketiga, koreksi itulah yang diberitakan. Ini juga bertambah ketika ada pembaca mengirim surat pembaca, atau ada tanggapan lewat kolom opini. Demikian seterusnya.
Jadi kebenaran dibentuk hari demi hari, lapisan demi lapisan. Ibaratnya stalagmit, tetes demi tetes kebenaran itu membentuk stalagmit yang besar. Makan waktu, prosesnya lama. Tapi dari kebenaran sehari-hari ini pula terbentuk bangunan kebenaran yang lebih lengkap.
Saya pribadi beruntung mengenal Kovach ketika saya mendapat kesempatan ikut program Nieman Fellowship pada 1999-2000 di mana Kovach jadi kuratornya. Di sana Kovach melatih wartawan-wartawan dari berbagai belahan dunia untuk lebih memahami pilihan-pilihan mereka dalam jurnalisme. Tekanannya jelas: memilih kebenaran! Tapi mengetahui mana yang benar dan mana yang salah saja tak cukup. Kovach dan Rosenstiel menerangkan elemen kedua dengan bertanya, “Kepada siapa wartawan harus menempatkan loyalitasnya? Pada perusahaannya? Pada pembacanya? Atau pada masyarakat?” Pertanyaan itu penting karena sejak 1980-an banyak wartawan Amerika yang berubah jadi orang bisnis. Sebuah survei menemukan separuh wartawan Amerika menghabiskan setidaknya sepertiga waktu mereka buat urusan manajemen ketimbang jurnalisme.
Ini memprihatinkan karena wartawan punya tanggungjawab sosial yang tak jarang bisa melangkahi kepentingan perusahaan di mana mereka bekerja. Walau pun demikian, dan di sini uniknya, tanggungjawab itu sekaligus adalah sumber dari keberhasilan perusahaan mereka. Perusahaan media yang mendahulukan kepentingan masyarakat justru lebih menguntungkan ketimbang yang hanya mementingkan bisnisnya sendiri.
Mari melihat dua contoh. Pada 1893 seorang pengusaha membeli harian The New York Times. Adolph Ochs percaya bahwa penduduk New York capek dan tak puas dengan suratkabar-suratkabar kuning yang kebanyakan isinya sensasional. Ochs hendak menyajikan suratkabar yang serius, mengutamakan kepentingan publik dan menulis, “… to give the news impartiality, without fear or favor, regardless of party, sect or interests involved.”
Pada 1933 Eugene Meyer membeli harian The Washington Post dan menyatakan di halaman suratkabar itu, “Dalam rangka menyajikan kebenaran, suratkabar ini kalau perlu akan mengorbankan keuntungan materialnya, jika tindakan itu diperlukan demi kepentingan masyarakat.”
Prinsip Ochs dan Meyer terbukti benar. Dua harian itu menjadi institusi publik yang prestisius sekaligus bisnis yang menguntungkan.
Kovach dan Rosenstiel khawatir banyaknya wartawan yang mengurusi bisnis bisa mengaburkan misi media dalam melayani kepentingan masyarakat. Bisnis media beda dengan bisnis kebanyakan. Dalam bisnis media ada sebuah segitiga. Sisi pertama adalah pembaca, pemirsa, atau pendengar. Sisi kedua adalah pemasang iklan. Sisi ketiga adalah masyarakat (citizens). Berbeda dengan kebanyakan bisnis, dalam bisnis media, pemirsa, pendengar, atau pembaca bukanlah pelanggan (customer). Kebanyakan media, termasuk televisi, radio, maupun dotcom, memberikan berita secara gratis. Orang tak membayar untuk menonton televisi, membaca internet, atau mendengarkan radio. Bahkan dalam bisnis suratkabar pun, kebanyakan pembaca hanya membayar sebagian kecil dari ongkos produksi. Ada subsidi buat pembaca.
Adanya kepercayaan publik inilah yang kemudian “dipinjamkan” perusahaan media kepada para pemasang iklan. Dalam hal ini pemasang iklan memang pelanggan. Tapi hubungan ini seyogyanya tak merusak hubungan yang unik antara media dengan pembaca, pemirsa, dan pendengarnya.
Kovach dan Rosenstiel prihatin karena banyak media Amerika mengkaitkan besarnya bonus atau pendapatan redaktur mereka dengan besarnya keuntungan yang diperoleh perusahaan bersangkutan. Sebuah survei menemukan, 71 persen redaktur Amerika menerapkan sebuah gaya manajemen yang biasa disebut management by objections.
Model ini ditemukan oleh guru manajemen Peter F. Drucker. Idenya sederhana sebenarnya. Para manajer diminta menentukan target sekaligus imbalan bila mereka berhasil mencapainya. Manajemen model ini, menurut Kovach dan Rosenstiel, bisa mengaburkan tanggungjawab sosial para redaktur. Mengkaitkan pendapatan seorang redaktur dengan penjualan iklan atau keuntungan perusahaan sangat mungkin untuk mengingkari prinsip loyalitas si redaktur terhadap masyarakat. Loyalitas mereka bisa bergeser pada peningkatan keuntungan perusahaan karena dari sana pula mereka mendapatkan bonus.
BANYAK wartawan mengatakan The Elements of Journalism perlu untuk dipelajari orang media. Suthichai Yoon, redaktur pendiri harian The Nation di Bangkok, menulis bahwa renungan dua wartawan “yang sudah mengalami pencerahan” ini perlu dibaca wartawan Thai.
I Made Suarjana dari tim pendidikan majalah Gatra mengatakan pada saya bahwa Gatra sedang menterjemahkan buku ini buat keperluan internal mereka, “Buku ini kita pandang mengembalikan pada basic jurnalisme,” kata Suarjana.
Salah satu bagian penting buku ini adalah penjelasan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel tentang elemen ketiga. Mereka mengatakan esensi dari jurnalisme adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.
Disiplin mampu membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni.
Mereka berpendapat, “saudara sepupu” hiburan yang disebut infotainment (dari kata information dan entertainment) harus dimengerti wartawan agar tahu mana batas-batasnya. Infotainment hanya terfokus pada apa-apa yang menarik perhatian pemirsa dan pendengar. Jurnalisme meliput kepentingan masyarakat yang bisa menghibur tapi juga bisa tidak.
Batas antara fiksi dan jurnalisme memang harus jelas. Jurnalisme tak bisa dicampuri dengan fiksi setitik pun. Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh pengalaman Mike Wallace dari CBS yang difilmkan dalam The Insider. Film ini bercerita tentang keengganan jaringan televisi CBS menayangkan sebuah laporan tentang bagaimana industri rokok Amerika memakai zat kimia tertentu buat meningkatkan kecanduan perokok.
Kejadian itu sebuah fakta. Namun Wallace keberatan karena ada kata-kata yang diciptakan dan seolah-olah diucapkan Wallace. Sutradara Michael Mann mengatakan film itu “pada dasarnya akurat” karena Wallace memang takluk pada tekanan pabrik rokok. Jika kata-kata diciptakan atau motivasi Wallace berbeda antara keadaan nyata dan dalam film, Mann berpendapat itu bisa diterima.
Kovach dan Rosenstiel mengatakan dalam kasus itu keterpaduan (utility) jadi nilai tertinggi ketimbang kebenaran harafiah. Fakta disubordinasikan kepada kepentingan fiksi. Mann membuat film itu dengan tambahan drama agar menarik perhatian penonton. Lantas bagaimana dengan beragamnya standar jurnalisme? Tidakkah disiplin tiap wartawan dalam melakukan verifikasi bersifat personal? Kovach dan Ronsenstiel menerangkan memang tak setiap wartawan punya pemahaman yang sama. Tidak setiap wartawan tahu standar minimal verifikasi. Susahnya, karena tak dikomunikasikan dengan baik, hal ini sering menimbulkan ketidaktahuan pada banyak orang karena disiplin dalam jurnalisme ini sering terkait dengan apa yang biasa disebut sebagai objektifitas.
Orang sering bertanya apa objektifitas dalam jurnalisme itu? Apakah wartawan bisa objektif? Bagaimana dengan wartawan yang punya latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi, kewarganegaraan, etnik, agama dan pengalaman pribadi yang nilai-nilainya berbeda dengan nilai dari peristiwa yang diliputnya? Kovach dan Rosenstiel menjelaskan, pada abad XIX tak mengenal konsep objektifitas itu. Wartawan zaman itu lebih sering memakai apa yang disebut sebagai realisme. Mereka percaya bila seorang reporter menggali fakta-fakta dan menyajikannya begitu saja maka kebenaran bakal muncul dengan sendirinya. Ide tentang realisme ini muncul bersamaan dengan terciptanya struktur karangan yang disebut sebagai piramida terbalik di mana fakta yang paling penting diletakkan pada awal laporan, demikian seterusnya, hingga yang paling kurang penting. Mereka berpendapat struktur itu membuat pembaca memahami berita secara alamiah.
Namun pada awal abad XX beberapa wartawan khawatir dengan naifnya realisme ini. Pada 1919 Walter Lippmann dan Charles Merz, dua wartawan terkemuka New York, menulis sebuah analisis tentang bagaimana latar belakang kultural The New York Times menimbulkan distorsi pada liputannya tentang revolusi Rusia. The New York Times lebih melaporkan tentang apa yang diharapkan pembaca ketimbang melaporkan apa yang terjadi.
Lippmann menekankan, jurnalisme tak cukup hanya dilaporkan oleh “saksi mata yang tak terlatih.” Niat baik atau usaha yang jujur juga tak cukup. Lippmann mengatakan inovasi baru pada zaman itu, misalnya bylines atau kolumnis, juga tidak cukup. Bylines diciptakan agar nama setiap reporter diketahui publik yang bakal mendorong si reporter bekerja lebih baik karena namanya terpampang jelas. Kolumnis adalah wartawan atau penulis senior yang tugasnya menerangkan suatu peristiwa dengan konteks yang lebih luas yang mungkin tak bisa dilaporkan reporter yang sibuk bekerja di lapangan.
Solusinya, menurut Lippmann, wartawan harus menguasai semangat ilmu pengetahuan, “There is but one kind of unity possible in a world as diverse as ours. It is unity of method, rather than aim; the unity of disciplined experiement (Ada satu hal yang bisa disatukan dalam kehidupan yang berbeda-beda ini. Hal itu adalah keseragaman dalam mengembangkan metode, ketimbang sebagai tujuan; seragamnya metode yang ditarik dari pengalaman di lapangan).”
Baginya, metode jurnalisme bisa objektif. Tapi objektifitas ini bukanlah tujuan. Objektifitas adalah disiplin dalam melakukan verifikasi. Sayang, dengan berjalannya waktu, pemahaman orisinal terhadap objektifitas ini diartikan keliru. Banyak penulis seperti Leo Rosten, yang mengarang sebuah buku sosiologi tentang wartawan, memakai istilah objektifitas buat merujuk pada pemahaman bahwa wartawan itu seyogyanya objektif. Saya kira di Indonesia juga banyak dosen-dosen komunikasi yang berpikir ala Rosten. Ini membingungkan. Para wartawan pun, pada gilirannya, ikut meragukan pengertian objektif dan menganggapnya sebagai ilusi.
Bagaimana metode yang objektif itu bisa dilakukan? Kovach dan Rosenstiel menerangkan betapa kebanyakan wartawan hanya mendefinisikan hanya sebagai dengan liputan yang berimbang (balance), fairness serta akurat. Tapi berimbang maupun fairness adalah metode. Bukan tujuan. Keseimbangan bisa menimbulkan distorsi bila dianggap sebagai tujuan. Kebenaran bisa kabur di tengah liputan yang berimbang. Fairness juga bisa disalahmengerti bila ia dianggap sebagai tujuan. Fair terhadap sumber atau fair terhadap pembaca?
Kovach dan Rosenstiel menawarkan lima konsep dalam verifikasi: - Jangan menambah atau mengarang apa pun;
- Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar;
- Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase;
- Bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri;
- Bersikaplah rendah hati.

Kovach dan Rosenstiel tak berhenti hanya pada tataran konsep. Mereka juga menawarkan metode yang kongkrit dalam melakukan verifikasi itu. Pertama, penyuntingan secara skeptis. Penyuntingan harus dilakukan baris demi baris, kalimat demi kalimat, dengan sikap skeptis. Banyak pertanyaan, banyak gugatan.
Kedua, memeriksa akurasi. David Yarnold dari San Jose Mercury News mengembangkan satu daftar pertanyaan yang disebutnya “accuracy checklist.”
- Apakah lead berita sudah didukung dengan data-data penunjang yang cukup?
- Apakah sudah ada orang lain yang diminta mengecek ulang, menghubungi atau menelepon semua nomor telepon, semua alamat, atau situs web yang ada dalam laporan tersebut? Bagaimana dengan penulisan nama dan jabatan?
- Apakah materi background guna memahami laporan ini sudah lengkap?
- Apakah semua pihak yang ada dalam laporan sudah diungkapkan dan apakah semua pihak sudah diberi hak untuk bicara?
- Apakah laporan itu berpihak atau membuat penghakiman yang mungkin halus terhadap salah satu pihak? Siapa orang yang kira-kira tak suka dengan laporan ini lebih dari batas yang wajar?
- Apa ada yang kurang?
- Apakah semua kutipan akurat dan diberi keterangan dari sumber yang memang mengatakannya? Apakah kutipan-kutipan itu mencerminkan pendapat dari yang bersangkutan?
Ketiga, jangan berasumsi. Jangan percaya pada sumber-sumber resmi begitu saja. Wartawan harus mendekat pada sumber-sumber primer sedekat mungkin.
David Protess dari Northwestern University memiliki satu metode. Dia memakai tiga lingkaran yang konsentris. Lingkaran paling luar berisi data-data sekunder terutama kliping media lain. Lingkaran yang lebih kecil adalah dokumen-dokumen misalnya laporan pengadilan, laporan polisi, laporan keuangan dan sebagainya. Lingkaran terdalam adalah saksi mata.
Metode keempat, pengecekan fakta ala Tom French yang disebut Tom French’s Colored Pencil. Metode ini sederhana. French, seorang spesialis narasi panjang nonfiksi dari suratkabar St. Petersburg Times, Florida, memakai pensil berwarna untuk mengecek fakta-fakta dalam karangannya, baris per baris, kalimat per kalimat.
MUSIM dingin tahun lalu ketika salju membasahi Cambridge, saya sempat berbincang-bincang dengan Bill Kovach tentang hubungan wartawan dan sumbernya. Saya katakan, pernah ketika mengerjakan suatu liputan, secara tak sengaja, keluarga saya berhubungan cukup dekat dengan keluarga orang yang diwawancarai.
Kami diskusikan masalah itu. Singkat kata Kovach mengatakan, bahwa seorang wartawan “tidak mencari teman, tidak mencari musuh.” Terkadang memang sulit menerima tawaran jasa baik, misalnya diantar pulang ketika kesulitan cari taksi, tapi juga tak perlu datang ke acara-acara sosial di mana independensi wartawan bisa salah dimengerti orang karena ada saja pertemanan yang terbentuk lewat acara-acara itu. “Seorang wartawan adalah mahluk asosial. Don’t get me wrong,” kata Kovach. Asosial bukan antisosial.
Ini sedikit menjelaskan elemen keempat: independensi. Kovach dan Rosenstiel berpendapat, wartawan boleh mengemukakan pendapatnya dalam kolom opini (tidak dalam berita). Mereka tetap dibilang wartawan walau menunjukkan sikapnya dengan jelas.
Kalau begitu wartawan boleh tak netral? Menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Impartialitas juga bukan yang dimaksud dengan objektifitas. Prinsipnya, wartawan harus bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput. Jadi, semangat dan pikiran untuk bersikap independen ini lebih penting ketimbang netralitas. Namun wartawan yang beropini juga tetap harus menjaga akurasi dari data-datanya. Mereka harus tetap melakukan verifikasi, mengabdi pada kepentingan masyarakat, dan memenuhi berbagai ketentuan lain yang harus ditaati seorang wartawan. “Wartawan yang menulis kolom memang punya sudut pandangnya sendiri …. Tapi mereka tetap harus menghargai fakta di atas segalanya,” kata Anthony Lewis, kolumnis The New York Times.
Menulis kolom ibaratnya, menurut Maggie Galagher dari Universal Press Syndicate, “bicara dengan seseorang yang tak setuju dengan saya”. Tapi wartawan yang menulis opini tetap tak diharapkan menulis tentang sesuatu dan ikut jadi pemain. Ini membuat si wartawan lebih sulit untuk melihat dengan perspektif yang berbeda. Lebih sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari pihak lain. Lebih sulit lagi menyakinkan masyarakat bahwa si wartawan meletakkan kepentingan mereka lebih dulu ketimbang kepentingan kelompok di mana si wartawan ikut bermain.
Kesetiaan pada kebenaran inilah yang membedakan wartawan dengan juru penerangan atau propaganda. Kebebasan berpendapat ada pada setiap orang. Tiap orang boleh bicara apa saja walau isinya propaganda atau menyebarkan kebencian. Tapi jurnalisme dan komunikasi bukan hal yang sama.
Independensi ini juga yang harus dijunjung tinggi di atas identitas lain seorang wartawan. Ada wartawan yang beragama Kristen, Islam, Hindu, Buddha, berkulit putih, keturunan Asia, keturunan Afrika, Hispanik, cacat, laki-laki, perempuan, dan sebagainya. Mereka, bukan pertama-tama, orang Kristen dan kedua baru wartawan.
Latar belakang etnik, agama, ideologi, atau kelas, ini seyogyanya dijadikan bahan informasi buat liputan mereka. Tapi bukan dijadikan alasan untuk mendikte si wartawan. Kovach dan Rosenstiel juga percaya, ruang redaksi yang multikultural bakal menciptakan lingkungan yang lebih bermutu secara intelektual ketimbang yang seragam.
Bersama-sama wartawan dari berbagai latar ini menciptakan liputan yang lebih kaya. Tapi sebaliknya, keberagaman ini tak bisa diperlakukan sebagai tujuan. Dia adalah metode buat menghasilkan liputan yang baik.
ELEMEN jurnalisme yang kelima adalah memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas. Memantau kekuasaan bukan berarti melukai mereka yang hidupnya nyaman. Mungkin kalau dipakai istilah Indonesianya, “jangan cari gara-gara juga”. Memantau kekuasaan dilakukan dalam kerangka ikut menegakkan demokrasi. Salah satu cara pemantauan ini adalah melakukan investigative reporting --sebuah jenis reportase di mana si wartawan berhasil menunjukkan siapa yang salah, siapa yang melakukan pelanggaran hukum, yang seharusnya jadi terdakwa, dalam suatu kejahatan publik yang sebelumnya dirahasiakan.
Sayangnya di Amerika Serikat, saya kira juga di Indonesia, label investigasi sering dijadikan barang dagangan. Kovach dan Rosenstiel menceritakan bagaimana radio-radio di sana menyiarkan rumor dan dengan seenaknya mengatakan mereka melakukan investigasi. Susahnya, para pendengar, pemirsa, dan pembaca juga tak tahu apa investigasi itu.
Salah satu konsekuensi dari investigasi adalah kecenderungan media bersangkutan mengambil sikap terhadap isu di mana mereka melakukan investigasi. Ada yang memakai istilah advocacy reporting buat mengganti istilah investigative reporting karena adanya kecenderungan ini. Padahal hasil investigasi bisa salah. Dan dampak yang timbul besar sekali. Bukan saja orang-orang yang didakwa dibuat menderita tapi juga reputasi media bersangkutan bisa tercemar serius. Mungkin karena risiko ini, banyak media besar serba tanggung dalam melakukan investigasi. Mereka lebih suka memperdagangkan labelnya saja tapi tak benar-benar masuk ke dalam investigasi.
Bob Woodward dari The Washington Post, salah satu wartawan yang investigasinya ikut mendorong mundurnya Presiden Richard Nixon karena skandal Watergate pada 1970-an, mengatakan salah satu syarat investigasi adalah “pikiran yang terbuka.” Elemen keenam adalah jurnalisme sebagai forum publik. Kovach dan Rosenstiel menerangkan zaman dahulu banyak suratkabar yang menjadikan ruang tamu mereka sebagai forum publik di mana orang-orang bisa datang, menyampaikan pendapatnya, kritik, dan sebagainya. Di sana juga disediakan cerutu serta minuman. Logikanya, manusia itu punya rasa ingin tahu yang alamiah. Bila media melaporkan, katakanlah dari jadwal-jadwal acara hingga kejahatan publik hingga timbulnya suatu trend sosial, jurnalisme ini menggelitik rasa ingin tahu orang banyak. Ketika mereka bereaksi terhadap laporan-laporan itu maka masyarakat pun dipenuhi dengan komentar –mungkin lewat program telepon di radio, lewat talk show televisi, opini pribadi, surat pembaca, ruang tamu suratkabar dan sebagainya. Pada gilirannya, komentar-komentar ini didengar oleh para politisi dan birokrat yang menjalankan roda pemerintahan. Memang tugas merekalah untuk menangkap aspirasi masyarakat. Dengan demikian, fungsi jurnalisme sebagai forum publik sangatlah penting karena, seperti pada zaman Yunani kuno, lewat forum inilah demokrasi ditegakkan.
Sekarang teknologi modern membuat forum ini lebih bertenaga. Sekarang ada siaran langsung televisi maupun chat room di internet. Tapi kecepatan yang menyertai teknologi baru ini juga meningkatkan kemampuan terjadinya distorsi maupun informasi yang menyesatkan yang potensial merusak reputasi jurnalisme.
Kovach dan Rosenstiel berpendapat jurnalisme yang mengakomodasi debat publik harus dibedakan dengan “jurnalisme semu,” yang mengadakan debat secara artifisial dengan tujuan menghibur atau melakukan provokasi. Munculnya jurnalisme semu itu terjadi karena debatnya tak dibuat berdasarkan fakta-fakta secara memadai. “Talk is cheap,” kata Kovach dan Rosenstiel. Biaya produksi sebuah talk show kecil sekali dibandingkan biaya untuk membangun infrastruktur reportase. Sebuah media yang hendak membangun infrastruktur reportase bukan saja harus menggaji puluhan, bahkan ratusan wartawan, tapi juga membiayai operasi mereka. Belum lagi bila media bersangkutan hendak membuka biro-biro baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Ngomong itu murah. Mendapatkan komentar-komentar lewat telepon dan disiarkan secara langsung sangat jauh lebih murah ketimbang melakukan reportase.
Jurnalisme semu juga muncul karena gaya lebih dipentingkan ketimbang esensi. Jurnalisme semu pada gilirannya membahayakan demokrasi karena ia bukannya memperlebar nuansa suatu perdebatan tapi lebih memfokuskan dirinya pada isu-isu yang sempit, yang terpolarisasi. Buntutnya, upaya mencari kompromi, sesuatu yang esensial dalam demokrasi, juga tak terbantu oleh jurnalisme macam ini. Jurnalisme semu tak memberikan pencerahan tapi malah mengajak orang berkelahi lebih sengit.
SELAMA dua semester mengikuti program Nieman Fellowship, Bill Kovach mengusulkan agar kami ikut suatu kelas tentang penulisan nonfiksi. Dia menekankan perlunya wartawan belajar menulis narasi karena kekuatan jurnalisme cetak sangat ditentukan oleh kemampuan ini. Saya mengikuti nasehat Kovach dan belajar tentang suatu genre yang disebut narrative report atau jurnalisme kesastraan.
Anjuran itu sesuai dengan elemen ketujuh bahwa jurnalisme harus memikat sekaligus relevan. Mungkin meminjam motto majalah Tempo jurnalisme itu harus “enak dibaca dan perlu.” Selama mengikuti kelas narasi itu, saya belajar banyak tentang komposisi, tentang etika, tentang naik-turunnya emosi pembaca dan sebagainya.
Memikat sekaligus relevan. Ironisnya, dua faktor ini justru sering dianggap dua hal yang bertolakbelakang. Laporan yang memikat dianggap laporan yang lucu, sensasional, menghibur, dan penuh tokoh selebritas. Tapi laporan yang relevan dianggap kering, angka-angka, dan membosankan. Padahal bukti-bukti cukup banyak, bahwa masyarakat mau keduanya. Orang membaca berita olah raga tapi juga berita ekonomi. Orang baca resensi buku tapi juga mengisi teka-teki silang. Majalah The New Yorker terkenal bukan saja karena kartun-kartunnya yang lucu, tapi juga laporan-laporannya yang panjang dan serius.
Kovach dan Rosenstiel mengatakan wartawan macam itu pada dasarnya malas, bodoh, bias, dan tak tahu bagaimana harus menyajikan jurnalisme yang bermutu. Menulis narasi yang dalam, sekaligus memikat, butuh waktu lama. Banyak contoh bagaimana laporan panjang dikerjakan selama berbulan-bulan terkadang malah bertahun-tahun. Padahal waktu adalah sebuah kemewahan dalam bisnis media.
Di sisi lain, daya tarik hiburan memang luar biasa. Pada 1977 kulit muka majalah Newsweek dan Time 31 persen diisi gambar tokoh politik atau pemimpin internasional serta 15 persen diilustrasikan oleh bintang hiburan. Pada 1997, kulit muka kedua majalah internasional ini mengalami penurunan 60 persen dalam hal tokoh politik. Sedangkan 40 persen diisi oleh bintang hiburan.
Duet Kovach-Rosenstiel sebelumnya menerbitkan buku Warp Speed: American in the Age of Mixed Media di mana mereka melakukan analisis yang tajam terhadap liputan media Amerika atas skandal Presiden Bill Clinton dan Monica Lewinsky. Kebanyakan media suka menekankan pada sisi sensasi dari skandal itu ketimbang isu yang lebih relevan.
Elemen kedelapan adalah kewajiban wartawan menjadikan beritanya proporsional dan komprehensif. Kovach dan Rosenstiel mengatakan banyak suratkabar yang menyajikan berita yang tak proporsional. Judul-judulnya sensional. Penekanannya pada aspek yang emosional. Mungkin kalau di Jakarta contoh terbaik adalah harian Rakyat Merdeka. Suratkabar macam ini seringkali tidak proporsional dalam pemberitaannya.
Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh yang menarik. Suratkabar sensasional diibaratkan seseorang yang ingin menarik perhatian pembaca dengan pergi ke tempat umum lalu melepas pakaian, telanjang. Orang pasti suka dan melihatnya. Pertanyaannya adalah bagaimana orang telanjang itu menjaga kesetiaan pemirsanya? Ini berbeda dengan pemain gitar. Dia datang ke tempat umum, memainkan gitar, dan ada sedikit orang yang memperhatikan. Tapi seiring dengan kualitas permainan gitarnya, makin hari makin banyak orang yang datang untuk mendengarkan. Pemain gitar ini adalah contoh suratkabar yang proporsional.
Proporsional serta komprehensif dalam jurnalisme memang tak seilmiah pembuatan peta. Berita mana yang diangkat, mana yang penting, mana yang dijadikan berita utama, penilaiannya bisa berbeda antara si wartawan dan si pembaca. Pemilihan berita juga sangat subjektif. Kovach dan Rosenstiel bilang justru karena subjektif inilah wartawan harus senantiasa ingat agar proporsional dalam menyajikan berita.
Masyarakat bisa tahu kalau si wartawan mencoba proporsional atau tidak. Sebaliknya masyarakat juga tahu kalau si wartawan cuma mau bertelanjang bulat.
SETIAP wartawan harus mendengarkan hati nuraninya sendiri. Dari ruang redaksi hingga ruang direksi, semua wartawan seyogyanya punya pertimbangan pribadi tentang etika dan tanggungjawab sosial. Ini elemen yang kesembilan. “Setiap individu reporter harus menetapkan kode etiknya sendiri, standarnya sendiri dan berdasarkan model itulah dia membangun karirnya,” kata wartawan televisi Bill Kurtis dari A&E Network.
Menjalankan prinsip itu tak mudah karena diperlukan suasana kerja yang nyaman, yang bebas, di mana setiap orang dirangsang untuk bersuara. “Bos, saya kira keputusan Anda keliru!” atau “Pak, ini kok kesannya rasialis” adalah dua contoh kalimat yang seyogyanya bisa muncul di ruang redaksi.
Menciptakan suasana ini tak mudah karena berdasarkan kebutuhannya, ruang redaksi bukanlah tempat di mana demokrasi dijalankan. Ruang redaksi bahkan punya kecenderungan menciptakan kediktatoran. Seseorang di puncak organisasi media memang harus bisa mengambil keputusan –menerbitkan atau tidak menerbitkan sebuah laporan, membiarkan atau mencabut sebuah kutipan yang panas—agar media bersangkutan bisa menepati deadline.
Membolehkan tiap individu wartawan menyuarakan hati nurani pada dasarnya membuat urusan manajemen jadi lebih kompleks. Tapi tugas setiap redaktur untuk memahami persoalan ini. Mereka memang mengambil keputusan final tapi mereka harus senantiasa membuka diri agar tiap orang yang hendak memberi kritik atau komentar bisa datang langsung pada mereka. Bob Woodward dari The Washington Post mengatakan, “Jurnalisme yang paling baik seringkali muncul ketika ia menentang manajemennya.”
Pada hari pertama Nieman Fellowship, Bill Kovach mengatakan pada 24 peserta program itu bahwa pintunya selalu terbuka. Terkadang dia sering harus mengejar deadline dan mengetik, “Raut wajah saya bisa galak sekali bila seseorang muncul di pintu saya. Tapi jangan digubris. Masuk dan bicaralah.”

Senin, 07 Juli 2008

Menyoal Suksesi Desa Pepageka

Seri tulisan ini pernah dimuat di Harian Fajar Bali, Denpasar,  Tanggal 13-16 Februari 2007

Dicari Kepala Desa Berotak Brilian 
Jika Tak Mau Desa Pepageka Tenggelam

   
BAGIAN PERTAMA

Sebenarnya tidak menarik menyorot suksesi kepala desa di Flores Timur, apalagi sebuah kampung di pedalaman Pulau Adonara. Sebab, dibandingkan dengan Jawa atau Bali, misalnya, yang kental kepentingan politik partai; Pilkades Pepageka justru penuh rekayasa sosial dan agama. Sementara persoalan pokok desa itu yakni masalah banjir yang menghantui warganya lebih dari 50 tahun luput dari perhatian. Bagaimana kondisi desa ini dan seperti apa figur seorang kepala desa nanti? 

Rahman Sabon Nama-Denpasar

Ajang Pilkades sebenarnya sebuah proses demokratisasi di tingkat paling bawah, sebuah proses pembelajaran demokrasi menurut kaidah normatif yang mengacu kepada undang-undang dan/atau peraturan hukum lain yang berlaku untuk pemerintahan desa. Karena di situlah para calon Kades punya kesempatan mengajukan ide, memaparkan program dan dengan strategi apa untuk merealisasikan program tersebut. Semuanya dikemas dalam sebuah mekanisme yang memungkin masyarakat bisa menilai, mana calon kades yang capabel dan lebih memihak kepada rakyat.
Bagi desa Pepageka, event Pilkades yang digelar April 2007, selain tidak boleh keluar dari rambu-rambu demokrasi di atas, tetapi juga-dan inilah yang lebih penting-tidak boleh melupakan akar budayanya atau yang kini populer dengan sebutan menghargai ‘kearifan lokal’. Pengalaman Pilkades Pepageka (sebelumnya bernama Pepakkelu, tetapi dusun Keluwain dimekarkan jadi desa tersendiri, namanya kembali ke nama aslinya-Pepageka) tiga periode terakhir, nilai-nilai kearifan lokal sepertinya dipinggirkan, yang muncul adalah kepentingan sosial dan agama. Akibatnya, pemerintahan desa berjalan tak efektif, sekedar memenuhi persyaratan formal berdasarkan petunjuk dari atas, tak ada inovasi untuk membangun desa. 
Dilihat dari kondisi geografisnya, posisi desa Pepageka yang datar-seperti berada dalam sebuah palung-di bawah kaki gunung Boleng dan dikelilingi bukit, membuat desa ini menjadi lahan penampung banjir di kala musim hujan dari berbagai penjuru. Inilah yang menjadi persoalan krusial dan seharusnya menjadi isu sentral setiap kali terjadi suksesi Pilkades. Sayangnya, masalah besar ini justru luput dari perhatian masyarakat, yang ditinjolkan adalah isu sosial dan agama. Buntutnya bisa ditebak, persoalan banjir hanya menjadi tontonan gratis, meski dalam hati warga yang terkena dampak negatifnya pasti menghujat kepala desa karena tak becus mengatasinya.
Sadar daerahnya menjadi langganan banjir, pada tahun-tahun sebelumnya hingga memasuki tahun 1970 model rumah masyarakat pedalaman ini sangat unik, yakni model rumah panggung, persis ruamah suku Bajo (Sulawesi) atau Bima (NTB) Belakangan, seiring perkembangan zaman, rumah panggung ditinggalkan. Mereka membangun rumah di atas sepetak tanah yang disebut Atu dengan ketinggian tertentu untuk menghindari banjir. Tetapi ada juga yang membuat fondasi rumah langsung dari permukaan tanah dengan tinggi tertentu pula agar terbebas dari banjir. Tetapi apa yang terjadi sekarang? Dua dusun di desa itu (Pepageka dan Lewulelek fondasi rumah atau Atu tadi nyaris rata dengan tanah karena sudah terendam endapan tanah dan pasir yang dibawa banjir. 
Saya yakin, kepala desa sekarang, pun sebelumnya, tak memiliki data akurat tentang tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh banjir tersebut. Padahal jika mau jujur, akibat banjir itu sungguh luar biasa. Selain tersebut di atas, ada warga di dusun Lewulelek yang terpaksa membongkar rumahnya lalu dibuatkan ulang yang lebih tinggi agar luput dari bencana itu. Halaman (nama tukan) di depan rumah adat (lango belen) dan nuba nara milik suku Lewulelek kini tak lagi menarik sebagai tempat untuk menari hedung dan sole oha, karena sebagiannya sudah tergerus banjir. Padahal lango belen, nuba nara, dan nama tukan adalah satu kesatuan yang mempunyai nilai magis dan kultural tinggi.  **



BAGIAN  KEDUA

Desa Pepageka mempunyai sejarah yang sangat panjang. Beberapa benda-benda bersejarah peninggalan leluhur suku Pepageka sampai sekarang masih tersimpan rapi, antara lain Tugu dan Bendera, ketika mereka pertama kali tiba di wilayah ini, namun karena tidak adanya penelitian sejarah, sehingga sulit melacak kapan persisnya desa ini berdiri. Yang jelas, ketika suku Pepagka tiba, di kampung ini sudah ada penghuninya yakni suku Riang Borot. Sebagai penghormatan kepada tamunya itu, Riang Borot kemudian memberikan mereka tanah sebagai tempat tinggal. Jadilah perkampungan itu berubah namanya menjadi Pepageka.
Bagi pemerintah Kerajaan Belanda, desa Pepageka pasti akan tetap dicatat dengan tinta emas oleh karena desa inilah pernah menciptakan sejarah yaitu sebagai pemicu timbulnya Perang Hongi tahun 1900-1904. Van Der Berg (?), tentara Belanda yang tewas dalam pertempuran itu, kuburnya masih ada di desa Sagu (pusat kerajaan Adonara saat itu). 
Sejak kedatangan suku Pepageka hingga akhir rezim Orde Lama, desa ini tetap dinamakan Pepageka dengan kepala desa semuanya dari suku Pepageka. Kemudian sejak Orde Baru namanya berubah menjadi Pepakkelu setelah dusun Keluwain ikut bergabung, dengan Kepala Desa Adrianus Pari Dagan (alm) dari suku Riang Borot. Kini, dusun Keluwain dimekarkan menjadi desa defentif (rencana peresmiannya Maret 2007 ini), desa Pepageka kini tinggal tiga dusun, yakni Pepageka, Lewulelek dan Bale dengan penduduk sekitar 1.000 jiwa. 
Sejarah dusun Bale yang kini berlokasi di lereng bukit juga sebenarnya berawal dari bencana banjir bandang yang menerjang desa Pepageka tahun sekitar tahun 1954. Saat itu ketinggian air mencapai 20 meter (seorang warga yang cukup kreatif naik ke atas pohon kelapa lalu menguliti bagian atas batang pohon kelapa persis pada posisi tinggi air sebagai tanda). Tercatat satu orang tewas, sedangkan kerusakan harta benda tak bisa dihitung. Seorang bayi yang baru berumur 3 hari bersama ibunya terpaksa diselamatkan dengan menjebol atap rumah lalu dievakuasi ke tempat aman menggunakan rakit seadanya. Bahkan rumah milik (alm) Muhamad Nur Horan Daen-pemimpin desa Pepageka di masa itu-yang dulunya mempunyai Atu dengan tujuh anak tangga kini tak kelihatan lagi. Yang ada tinggal bangunan rumah aslinya-satu-satunya rumah permanen saat itu, yang seakan menjadi saksi bisu bhakan hingga saat ini. Nuba nara milik suku Pepageka juga terendam air dan baru ditemukan kembali 20 tahun kemudian.
Sejak saat itulah setiap tahun desa Pepageka menjadi langganan banjir. Dalam catatan saya, tahun 1970-an, banjir dari gunung Boleng semula mengalir menyusuri pinggiran desa, persis di belakang rumah mantan Kades (alm) Yulius Sili Beda, lalu bertemu dengan banjir kiriman dari bukit sekitar desa Horinara dan Manga Aleng-yang dikenal dengan wai lein. Sepuluh tahun kemudian banjir berbelok haluan membelah desa, dari Gata Miten hingga tembus ke lapangan sepakbola. Akibatnya lango belen (rumah adapt) rumah adat dan nuba nara milik suku Pepageka yang semula letaknya di atas atu setinggi satu meter kini atu-nya tak kelihatan lagi. Masjid Al-Jihad juga tak luput dari terjangannya. Sepuluh tahun kemudian, alur banjir berpindah lagi. Kali ini menyasar dusun Lewulelek hingga saat ini. Akibatnya, Kapela Santu Hendrikus, rumah adat suku Lewulelek dan nuba nara, jadi korban. Belum termasuk rumah-rumah penduduk.  
Berdasarkan gambaran ini, bisa disimpulkan bahwa terdapat siklus 10 tahunan alur banjir berpindah-pindah tempat. Artinya, memasuki tahun 2000-an, alur banjir seharusnya berpindah lagi ke pinggir dusun Lewulelek, tepatnya sepanjang Puho Bele. Namun yang terjadi, banjir rupanya ogah pindah jalur. Tetap membelah dusun Lewulelek.
Ada dua kemungkinan mengapa bisa begitu. Pertama, jalur banjir yang ada sudah paten-mengambil garis lurus dari pinggir desa Redontena-mengikuti jalurnya sejak zaman bahula. Kedua, kalaupun ada faktor penghalang alamaih yang memaksa banjir berbelok haluan ke kanan mendekati desa Redontena, maka warga Redontena juga tak mau mengalami nasib seperti Pepageka. Mereka pasti berupaya membendungnya agar banjir tak keluar dari alur semula. Artinya, apa yang dilakukan warga Redontena bukan bermaksud ‘mencedarai’ opu alap, ina bine di Pepageka, tetapi itulah pilhan terbaik yang harus dilakukan. Dengan kata lain, dusun Lewulelek selamanya akan menjadi alur permanen jalannya banjir. Lalu apa solusinya? Inilah yang tidak pernah dipikirkan, hingga saat ini, kecuali hanya mengelus dada. **



BAGIAN KETIGA

Sebagai daerah langganan banjir, ada nilai ekonomis yang bisa didapat, yakni tumpukan Lumpur menyuburkan tanah dan menciptakan ladang bisnis Galian C (pasir). Setiap tahun, ribuan kubik pasir menumpuk di desa ini. Tetapi dampak negatif lain yang tak kalah krsuialnya adalah debu. Kalau musim hujan berkubang banjir, musim kemarau berselimut debu. Itulah yang mengilhami saya sehingga pada pertengahan tahun 1975 saya membuat tulisan di Majalah Kunang Kunang terbitan Ende, Flores, ketika saya duduk di kelas VI SD Lambunga. Tulisan itu saya masukan di Pos Surat milik pastor Van Der Hults di Hinga. Mungkin karena kendala geografis, tulisan berjudul ‘Desa Kesayanganku’ itu baru terbit ketika saya sudah duduk di kelas I SMPK AWAS Hinga.
Dua tahun kemudian, tahun 1978, ketika ada kesempatan berkumpul dengan teman di desa Suku Tokan, saya menyempatkan diri memeriksa alur banjir di desa itu (yang tembusannnya ke Pepageka). Meski dalam usia yang sangat mudah, terbesit ide agar suatu saat banjir itu bisa dibuang ke arah timur Suku Tokan, tepatnya di kaki bukit A’o (sebelah timur pasar Laga Loe) hingga tembus ke sebuah kali mati yang sudah ada di ujung Desa Lamabelawa (Witihama) dan dengan sendirinya banjir akan tembus ke laut di Wai Wuring. 
Di lihat dari sudut feasibility study project, proyek sepanjang sekitar 1 km itu bisa dilaksanakan dengan konsekwensinya mengorbankan harta benda masyarakat setempat-sesuatu yang berpotensi menimbulkan persoalan baru. Tetapi saya yakin, dengan pendekatan yang lebih arif, melibatkan tokoh masyarakat, pasti tak sulit dicapai. Itulah alternatif pertama, jika kita tak mau desa Pepageka tenggelam.
Alternatif kedua adalah membuat kanal dari perbatasan Redontena dan Pepageka mengikuti alur banjir yang ada sekarang. Melalui sebuah pesan singkat saya-short measage system (SMS)- kepada Bupati Flores Timur, Simon Hayong, belum lama ini, saya menyampaikan ide soal pembangunan kanal di desa Pepageka (saya menyebut Pepakkelu) untuk mengatasi persoalan banjir, berkaitan dengan Pilkades Pepageka mendatang. Saya katakan, calon kepala desa harus berotak brilian agar bisa menerjemahkan ide saya ini. Entah karena kesibukannnya atau sekedar balas, jawaban yang saya terima dari bupati justru sangat tidak profesional. “Kanal itu dikerjakan oleh kontraktor bukan kades,” balas Bupati Simon.
Bupati mungkin lupa, untuk menghadirkan sebuah proyek raksasa (dalam estimasi saya, pembuatan kanal banjir itu menghabiskan anggaran di atas Rp 1 miliar) di sebuah desa yang mungkin tak memberikan nilai tambah bagi daerah (Flores Timur), kecuali hanya untuk mempertahankan desa itu, bukanlah perkara gampang.
Masalahnya, teringat pertemuan saya dengan Bupati Simon di Hotel The Grand Bali Beach, Sanur, tahun lalu. Saat itu bupati mengeluh bahwa Pemkab Flores Timur tak punya uang. Saya juga relasitis, proyek sebesar itu sangat kecil kemungkinan dibiayai total oleh Pemkab Flotim, kecuali Pemkab dan DPRD Flotim berbaik hati menganggarkan dalam APBD yang kemudian dikerjakan oleh kontraktor, seperti balasan SMS bupati tadi. Tetapi apakah itu bisa? Hanya bupati Simon dan DPRD Flores Timur yang bisa menjawabnya.
Karena itu, daripada menunggu sesutu yang tak pasti-ibarat menunggu muzizat dari langit, saya tetap berkeinginan agar calon Kades Pepageka kelak haruslah seorang berotak cerdas, rela berkorban semat-mata untuk membangun lewo tana. Bukan sekedar gengsi untuk medapat legitimasi status sosial. Bukan pula sebuah pekerjaan yang harus direbut supaya tidak disebut pengangguran di desa. **

   

BAGIAN KEEMPAT

Lalu fugur seperti apa yang diinginkan oleh masyarakat untuk memimpin lewo tana Pepageka? Buat saya, pertanyaan ini mudah dijawab. Kembalinya Pepageka menjadi nama desa, setelah 40 tahun ‘dipaksa’ mengganti namanya menjadi Pepakkelu, seakan mengembalikan kharisma dan nilai heroik desa Pepageka seperti ditanamkan oleh pemimpinnya, (alm) Muhamad Nur Horan Daen. Tanpa bermaksud mengecilkan peran dua saudaranya, Ama Pue Tewa (Riang Borot) dan Ama Kia Lasan (Lewulelek)-keduanya juga sudah almarhum-, Ama Horan rela digebuk oleh tentara Belanda di Bao Puken, desa Hinga, hingga babak belur karena mati-matian tak mau desanya tunduk pada kekuasaan pemimpin Hinga saat itu. Dalam internal desanya, dia menjadi tokoh pemersatu, rela mengorbankan harta bendanya untuk membantu warganya yang dalam kesulitan. Dalam hal mengambil keputusan penting misalnya, ‘tiga serangkai’ ala Pepageka itu duduk bersama membicarakannya lalu dialah yang memutuskan. Kunci sukses kepempinan demikian terletak pada kekompakan mereka bertiga dengan tetap menghargai posisi dan peran masing-masing serta nilai-nilai kearifan lokal yang melekat padanya. Satu hal yang menjadi kelemahan Ama Horan dan kedua saudaranya tadi-jika itu dianggap demikian-adalah mereka tak pernah memikirkan bagaimana mengatasi banjir. Pola pikir mereka masaih sangat sederhana, justru mereka sangat bangga karena dengan banjir itu, daerah mereka menjadi sangat subur. Tapi pantaskah itu sebagai sebuah kelemahan, sementara negeri ini saat itu masih amburadul? Adalah menjadi tugas generasi penerus mereka untuk memikirkannya.
Sayang, nilai-nilai kepemimpinan semacam itu hampir tidak ditemukan pada sebagian besar para pemimpin desa yang menggantikan mereka. Setiap pergantian kepala desa, yang diributkan adalah kepentingan sesaat. Yang dimunculkan adalah kepentingan sosial dan agama dengan mengaburkan nilai-nilai kearifan lokal. Memang, di era modern dan di alam demokrasi ini, siapa saja dan dari suku mana saja berhak dicalonkan dan mencalonkan diri. Tetapi jika dicermati, kepentingan sosial dan agama sangat kental. Apabila diurut, pertama calon haruslah A, atau B, atau C, asal bukan dari keturunan ‘tiga serangkai’ tadi. Kalau calonnya sudah didapat, masih dilihat lagi, dia harus dari agama ‘kita’, bukan dari agama ‘mereka’. Meski hal ini ditutup-tutupi, tetapi saya bisa merekam semua tingkah laku para cerdik pandai di desa Pepageka sudah sejak lama.
Ketika sedang mempersiapkan naskah ini, saya mendapat tiga SMS dari Pepageka, dari tiga orang teman yang biasa saya sita waktunya untuk membcicarakan hal ini sambil minum tuak setiap ada kesempatan saya berlibur. Ketiga teman baik saya itu menginformasikan tentang figur-figur yang mulai diendus dan siapa-siapa di balik figur itu, sehingga makin menguatkan analisis ini; masih tetap mengedepankan kepentingan sosial dan agama, mengeliminir kearifan lokal. Dan saya yakin, figur-figur yang disebut-sebut itu juga tidak pernah memikirkan persoalan krusial yang sudah berjalan lebih dari 50 tahun (banjri).  
Kini, seluruh warga desa Pepageka harus sadar, tidak boleh lagi tertipu oleh orang-orang pintar yang selama ini bertepuk dada mengaku membangun lewo tana (kampung halaman). Bahaya besar sudah di depan mata. Banjir tahunan jangan dilihat sebagai rutinitas semata, tapi harus ada upaya antisipatif sebelum bencana yang lebih besar datang. Jika tak mau desa Pepageka tenggelam, maka saatnya kita butuh seorang kepala desa berotak brilian, berhati jujur dan rela berkorban. 
Saya teringat cerita kakek saya, Ama Horan, ketika kembali dari Hinga setelah ‘dipermak’ tentara Belanda. Dengan wajah bopeng dan berlumuran darah, dia memasuki kampungnya-Pepageka- disambut tangis dan air mata warganya. Tapi apa jawabannya? Sambil membentak mereka, dia mengatakan begini: “He, ake tani! Ana ama lake hide lewuk tahnak”. Artinya: Jangan menangis! (sebagai) Anak lelaki harus membela kampung halamanku. Sungguh, sebuah pengorbanan yang tak ternilai harganya. Masa sih, tetesan darahnya itu kemudian tak bermakna bagi anak cucunya? *** 









Mengunjungi Aceh Setelah Empat Tahun Tsunami Berlalu

Seri tulisan ini pernah dimuat di Harian Fajar Bali, Denpasar, tanggal 30 Juni 2008 dan 2 Juli 2008
Bagian Pertama - 29 Juni 2008
Kapal di Atas Rumah dan Kapal Apung Itu Jadi Museum 

Hampir empat tahun setelah bencana tsunami melanda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), sisa-sisa kekejaman alam-gempa bumi disertai tsunami-masih terasa. Sebuah kapal besar masih teronggok bisu di tengah perumahan warga, sementara bangkai kapal-kapal kecil berserakan di sampingnya. Pemandangan lain, sebuah kapal ikan juga dalam kondisi utuh masih nyangkut di atas tembok sebuah rumah. Kini, kedua kapal itu dijadikan museum tsunami oleh Pemprov NAD sekaligus sebagai obyek wisata baru. Berikut laporan wartawan Fajar Bali di sela-sela meliput  Musabaqah Al-Quran Nasional (MAN) VII yang diselenggarakan oleh PT Telkomsel.

Rahman Sabon Nama-Banda Aceh

Sepintas, menyaksikan wajah NAD selama perjalanan 20 menit dengan bus dari Bandara Sultan Iskandar Muda Blangbintang menuju Hotel Hermes di Banda Aceh, memberikan kesan yang jauh dari bayangan saya. Sepanjang jalan itu, rumah-rumah tradisional masih tegak berdiri, lebih banyak dari rumah-rumah tembok permanent. Aceh sebagai penyumbang devisa terbesar bagi negara dari sector minyak dan gas bumi melalui tambang LNG Arun dan ExxonMobil Oil, ternyata kehidupan masyaakatnya masih sangat tradisional. Pantas saja, seorang rekan wartawan dari Bandung mengibaratkan seperti menyakasikan pemandangan di Sumedang.
Padahal jika mau jujur, bencana alam pada 26 Desember 2004 yang menewaskan lebih dari 200 ribu jiwa itu jusru mendatangkan ‘rezeki’ baru dengan mengalirnya bantuan baik dari dalam dan maupun luar negeri, sehingga seharusnya membuat kehidupan masyarakat Aceh jauh lebih baik. “Empat tahun berlalu tapi kerja BRR (Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi NA-Red) masih amburadul,” ketus Mulyadi, pria asli Aceh yang menjemput kami. Aceh memang masih tertinggal. Itulah sekilas wajah pinggiran ibukota Banda Aceh, bagaimana dengan daerah pedalam Aceh lainnya? 
Meski begitu, rasa sedih akibat bencana kemanusiaan hingga mengetuk hati mantan Presiden AS Bill Clinton maupun actor film laga Jacky Chan sehingga mereka datang ke Aceh, tampaknya sudah pulih di hati sebagian besar masyarakat NAD. Itu bisa disaksikan dari berbagi aktifitas masyarakatnya. Tetapi, trauma bencana itu pasti tak bisa hilang begitu saja. Malah, peritiwa itulah yang menjadi pelajaran, tak hanya bagi masyarakat Aceh tetapi seluruh umat manusia di dunia, dengan membangun sistim peringatan dini tsunami di mana-mana. 
Di Banda Aceh, bekas kapal milik PLN yang sebelumnya berfungsi sebagai PLTD Apung yang mampu menghasilkan listrik 10 MW yang terseret gelombang tsunami dari Pantai Ulele sejauh lima kilometer ke tengah kota Banda Aceh, tepatnya di Kelurahan Punge Blangcut, Kecamatan Jaya Baru; kini menjadi museum alami untuk menggambarkan betapa ganasnya gelombang tsunami.
Kapal sepanjang 63 meter dan lebar 20 meter berbobot 2,600 ton itu pada bagian lambungnya sudah mulai karatan, tetapi di bagian dalamnya terlihat masih bersih. Menurut seorang guide dadakan yang setiap hari mengais rezeki di atas kapal, selama musim liburan sekolah, setiap hari kapal ini dikunjungi 100-200 orang, yang datang dari seuruh Aceh maupun di luar Aceh, termasuk turis manca negara. “Kalo sebelum liburan, sekitar 50-100 orang per hari,” akunya, sambil menyilakan Fajar Bali untuk memasukan sumbangan seikhlas kita ke dalam kotak yang sudah disediakan. “Sekedar pengganti ongkos bersih-bersih kapal,” tambah rekannya.
Di sisi barat kapal ini, lahan seluas sekitar 0,5 hektar-eks perumahan warga yang disapu tsunami-sudah dibangun Taman Edukasi Tsunami tapi landscape-nya terkesan asal-asalan. Sementara di sisi selatan kapal itu masih dikerumuni rumah-rumah yang ternyata tahan bantingan tsunami sehingga luput dari amukan gelombang raksasa itu.
Hery, salah seorang pemlik rumah mengatakan, sudah ada pendekatan dari Pemprov NAD agar warga di sekitar itu merelakan tanahnya untuk perluasan taman tsnumai tadi.
Sekitar lima kilometer dari situ, pemandangan mengerikan sisa-sisa keganasan glombang tsunami terlihat di Pantai Ulele. Sebuah kapal ikan sepanjang 20 meter dengan lebar empat masih nyangkut di atas tembok rumah H. Misbach, dan kini menjadi musem dan obyek wisata. Menurut penjaga museum itu, justru karena kapal nyangkut di rumahnya itulah sehingga bisa menyelamatakan Misbach dan keluargaya. Sebab, pada saat kejadian, begitu air laut memasuki rumahnya, Misbach dan keluarganya berusaha menyelamatkan diri naik ke atas atap di lantai dua dengan menjebol plafon. “Untung ada kapal di atas itu sehingga mereka langsung naik ke kapal, tinggal di situ sampai air surut. Selamatlah seluruh keluarga Misbach” terangnya.
Awalnya, kapal itu nangkring di atas atap, lalu tembok rumah Misbach dipermak seperti tiang jalan tol untuk menyanggah kapal sehingga kondisinya seperti sekarang ini. Agar pengunjung bisa naik ke atas kapal, pemerintah membangun jalan masuk dari di sisi utara memutar ke barat hingga ke atas kapal. Di tengah halaman antara kapal dan jalan masuk tadi sebuah kotak amal diletakan di situ, siapa tahu ada turis yang masih mau peduli dengan nasib mereka.**  
 
Bagian Kedua - 30 Juni 2008
Lahan Kosong Itu Ternyata Kuburan Masal 

Jika tak ada papan nama di depannya, setiap orang yang lewat di situ pasti tak menyangka bahwa lahan kosong seluas setengah hektar yang diberi pagar knock down (pisah-pisah) di sekelilingnya itu adalah kuburan ribuan korban tsunami yang tak bisa dikenali. Tak jauh dari situ, masih tegak berdiri Masjid Baiturrahim, satu-satunya bangunan di kampung Ulele-kampung Cut Keke-yang sanggup menahan gempuran tsunami, padahal jaraknya hanya sekitar 20 meter dari bibir pantai Ulele. 

Rahman Sabon Nama-Banda Aceh

Sederhana sekali! Itulah kondisi Kuburan Masal Taman Makam Syuhada Korban Tsunami 26 Desember 2006 yang dikelola oleh Subdin Pemakaman, Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Banda Aceh. Tidak ada nisan, tidak ada tanaman kembang warna-warni seperti terlihat di kuburan pada umumnya. Yang ada di lahan kosong itu hanya rumput Jepang yang tampak tak terurus karena sebagiannya sudah pada mati, dan beberapa batu besar entah untuk apa. Barangkali yang agak ‘membanggakan’ arwah para syuhada korban tsunami 26 Desember 2006 ini, mungkin karena pintu gerbangnya sedikit mentereng karena dihiasi ukiran sebuah ayat Al-Quran, yang isinya mengingatkan manusia bahwa ada hikmah di balik sebuah becana.  
Kesederhanaan itu seakan melengkapi wajah Kota Banda Aceh pada umumnya, yang tampak kusam, berdebu, di bawa sengatan matahai hingga mencapi 35 derajat Celcius; kecuali kawasan sekitar Masjid Raya Baiturrahman, mascot Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Hasil alam yang melimpah seperti gas alam dan minyak tak membuat masyarakat Aceha hidup dalam kemakmuran. Asal tahu saja, umumnya perkantoran termasuk kantor gubernur Aceh sekalipun tidak ditemukan taman bunga ataupun lukisan mahal penghias dinding. Kota Banda Aceh, tak sebekan namanya.  
Padahal, tak lama setelah gempa bumi disertai tsunami hingga menenggelamkan sebagian wilayah Aceh, pemerintah RI mengeluarkan Kepres tentang Badan Rekonstruksi dan Rehablitasi (BRR) Aceh. Namun, meski sudah empat tahun, kinerja BRR masih dipertanyakan warga Aceh. Masalahnya, beberapa kebutuhan mendesak yang seharusnya sudah selesai dibangun, namun sampai sekarang belum kelar. Kalaupun sudah selesai, juga terkesan asal-asalan. Lihat saja proyek infrastruktur di pelabuhan Ulele. Jalan utama-persis di depan kuburan masal tadi-menuju pelabuhan Ulele sampai sekarang masih sebatas pengerasan. Di sisi kiri kanan jalan itu, banyak gedung sisa-sisa korban gempa dan tsunami dibiarkan tak terurus. Begitu juga rumah-rumah tipe 36 yang dibangun BRR untuk warga Aceh, sebagian sudah ditumbuhi rumput setinggi jendela karena tak ada penghuninya. 
Ironisnya, sebagian warga lebih memilih tinggal di barak-barak pengungsian hingga sekarang. Dari beberapa warga yang sempat diwawancarai, mereka enggan menempati rumah tersebut dengan berbagai alasan. Ada yang beralaan karena kualitas bangunan tidak sebaik dengan rumah yang dibangun NGO asing. Untuk dinding misalnya, BRR menggunakan material kayu dengan perhitungan tahan gempa, sementara NGO menggunakan tembok. Selain itu, walaupun tipe rumahnya sama-tipe 36, ternyata rumah BRR itu ukurannya lebih kecil. Ada juga yang menolak menempati rumah karena luas lahan yang diberikan secara gratis itu tidak sebanding dengan milik mereka yang hilang.
Tetapi sumber lain Fajar Bali memberi jawaban yang masuk akal. Sebenarnya, mereka sudah mendapat rumah tetapi dikontrakan lagi kepada orang lain dan mereka kembali ke barak. Mana yang benar, belum bisa ditelusuri ke pihak yang paling berkompoten yaitu BRR Aceh. 
Tetapi, Sekretaris Pemprov NAD, Husni Basri Tob, S.H., M.M., M.Hum, punya pendapat lain, ketika ditemui seusai meresmikan kantor Grapari Telkomsel di Jalan Teuku Daud Beureueh No. 161 Banda Aceh, Senin (30/6/2008) siang. Dikatakan, penempatan rumah-rumah itu sudah ditangani secara khusus oleh pantia yang dibentuk BRR Aceh supaya tidak terjadi duplikasi sehingga agak selektif. “Tujuannya supaya orang yang bernar-benar berhak yang menempati,” katanya.
Cuma, kesulitannya, secara sosiologis masyarakat Aceh menganut community colegial-senang hidup berkumpul-sehingga mereka menolak menempati rumah dalam ukuran kecil. Lagi pula masyarakat Aceh, sesuai syaritat Islam yang dianutnya, dalam satu keluarga, orang tua dan anak-anaknya tidak dibenarkan tinggal sekamar. “Kecuali anak masih menyusui, tapi kalau anaknya sudah memasuki SD, dia harus puya kamar sendiri, tdak boleh gabung. Jadi kalau kamarnya cuma dua, ke mana anaknya tidur, itulah salah satu kendalanya,” jelasnya.
Mengenai pembangunan infrastruktur, terutama jalan dan pelabuhan, di Pelabuhan Ulele, yang hingg sekarang belum kelar, Husni Basri tak mau berkomentar karena itu bukan kewenangannya, melainkan BRR. Namun, Husni Basri tak menampik masih ada warag Aceh hidup di barak-barak pengungsian, terutama di kampung artis Cut Keke tadi. “Tetapi secara bertahap, barak-barak itu akan digusur, supaya mereka menempati rumah yang disediakan pemerintah,” kilahnya.
Terlepas dari itu, soal kehidupan di barak pengungsian itu, Mulyadi yang pernah bergabung dengan Care, sebuah NGO asing yang berpartisipasi membangun Aceh, punya ceritra mengejutkan. “Di barak itu banyak terjadi seks bebas,” katanya membuka rahasia.”Di situ hanya disekat-sekat, jadi gampang terjadi perselingkuhan. Mereka juga manusia. Daripada stress memikirkan harta benda atau anak istri yang hilang,” ceritra Mulyadi yang selama empat hari menemani wartawan peliput MAN VII Telkom Group. **