Senin, 07 Juli 2008

Menyoal Suksesi Desa Pepageka

Seri tulisan ini pernah dimuat di Harian Fajar Bali, Denpasar,  Tanggal 13-16 Februari 2007

Dicari Kepala Desa Berotak Brilian 
Jika Tak Mau Desa Pepageka Tenggelam

   
BAGIAN PERTAMA

Sebenarnya tidak menarik menyorot suksesi kepala desa di Flores Timur, apalagi sebuah kampung di pedalaman Pulau Adonara. Sebab, dibandingkan dengan Jawa atau Bali, misalnya, yang kental kepentingan politik partai; Pilkades Pepageka justru penuh rekayasa sosial dan agama. Sementara persoalan pokok desa itu yakni masalah banjir yang menghantui warganya lebih dari 50 tahun luput dari perhatian. Bagaimana kondisi desa ini dan seperti apa figur seorang kepala desa nanti? 

Rahman Sabon Nama-Denpasar

Ajang Pilkades sebenarnya sebuah proses demokratisasi di tingkat paling bawah, sebuah proses pembelajaran demokrasi menurut kaidah normatif yang mengacu kepada undang-undang dan/atau peraturan hukum lain yang berlaku untuk pemerintahan desa. Karena di situlah para calon Kades punya kesempatan mengajukan ide, memaparkan program dan dengan strategi apa untuk merealisasikan program tersebut. Semuanya dikemas dalam sebuah mekanisme yang memungkin masyarakat bisa menilai, mana calon kades yang capabel dan lebih memihak kepada rakyat.
Bagi desa Pepageka, event Pilkades yang digelar April 2007, selain tidak boleh keluar dari rambu-rambu demokrasi di atas, tetapi juga-dan inilah yang lebih penting-tidak boleh melupakan akar budayanya atau yang kini populer dengan sebutan menghargai ‘kearifan lokal’. Pengalaman Pilkades Pepageka (sebelumnya bernama Pepakkelu, tetapi dusun Keluwain dimekarkan jadi desa tersendiri, namanya kembali ke nama aslinya-Pepageka) tiga periode terakhir, nilai-nilai kearifan lokal sepertinya dipinggirkan, yang muncul adalah kepentingan sosial dan agama. Akibatnya, pemerintahan desa berjalan tak efektif, sekedar memenuhi persyaratan formal berdasarkan petunjuk dari atas, tak ada inovasi untuk membangun desa. 
Dilihat dari kondisi geografisnya, posisi desa Pepageka yang datar-seperti berada dalam sebuah palung-di bawah kaki gunung Boleng dan dikelilingi bukit, membuat desa ini menjadi lahan penampung banjir di kala musim hujan dari berbagai penjuru. Inilah yang menjadi persoalan krusial dan seharusnya menjadi isu sentral setiap kali terjadi suksesi Pilkades. Sayangnya, masalah besar ini justru luput dari perhatian masyarakat, yang ditinjolkan adalah isu sosial dan agama. Buntutnya bisa ditebak, persoalan banjir hanya menjadi tontonan gratis, meski dalam hati warga yang terkena dampak negatifnya pasti menghujat kepala desa karena tak becus mengatasinya.
Sadar daerahnya menjadi langganan banjir, pada tahun-tahun sebelumnya hingga memasuki tahun 1970 model rumah masyarakat pedalaman ini sangat unik, yakni model rumah panggung, persis ruamah suku Bajo (Sulawesi) atau Bima (NTB) Belakangan, seiring perkembangan zaman, rumah panggung ditinggalkan. Mereka membangun rumah di atas sepetak tanah yang disebut Atu dengan ketinggian tertentu untuk menghindari banjir. Tetapi ada juga yang membuat fondasi rumah langsung dari permukaan tanah dengan tinggi tertentu pula agar terbebas dari banjir. Tetapi apa yang terjadi sekarang? Dua dusun di desa itu (Pepageka dan Lewulelek fondasi rumah atau Atu tadi nyaris rata dengan tanah karena sudah terendam endapan tanah dan pasir yang dibawa banjir. 
Saya yakin, kepala desa sekarang, pun sebelumnya, tak memiliki data akurat tentang tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh banjir tersebut. Padahal jika mau jujur, akibat banjir itu sungguh luar biasa. Selain tersebut di atas, ada warga di dusun Lewulelek yang terpaksa membongkar rumahnya lalu dibuatkan ulang yang lebih tinggi agar luput dari bencana itu. Halaman (nama tukan) di depan rumah adat (lango belen) dan nuba nara milik suku Lewulelek kini tak lagi menarik sebagai tempat untuk menari hedung dan sole oha, karena sebagiannya sudah tergerus banjir. Padahal lango belen, nuba nara, dan nama tukan adalah satu kesatuan yang mempunyai nilai magis dan kultural tinggi.  **



BAGIAN  KEDUA

Desa Pepageka mempunyai sejarah yang sangat panjang. Beberapa benda-benda bersejarah peninggalan leluhur suku Pepageka sampai sekarang masih tersimpan rapi, antara lain Tugu dan Bendera, ketika mereka pertama kali tiba di wilayah ini, namun karena tidak adanya penelitian sejarah, sehingga sulit melacak kapan persisnya desa ini berdiri. Yang jelas, ketika suku Pepagka tiba, di kampung ini sudah ada penghuninya yakni suku Riang Borot. Sebagai penghormatan kepada tamunya itu, Riang Borot kemudian memberikan mereka tanah sebagai tempat tinggal. Jadilah perkampungan itu berubah namanya menjadi Pepageka.
Bagi pemerintah Kerajaan Belanda, desa Pepageka pasti akan tetap dicatat dengan tinta emas oleh karena desa inilah pernah menciptakan sejarah yaitu sebagai pemicu timbulnya Perang Hongi tahun 1900-1904. Van Der Berg (?), tentara Belanda yang tewas dalam pertempuran itu, kuburnya masih ada di desa Sagu (pusat kerajaan Adonara saat itu). 
Sejak kedatangan suku Pepageka hingga akhir rezim Orde Lama, desa ini tetap dinamakan Pepageka dengan kepala desa semuanya dari suku Pepageka. Kemudian sejak Orde Baru namanya berubah menjadi Pepakkelu setelah dusun Keluwain ikut bergabung, dengan Kepala Desa Adrianus Pari Dagan (alm) dari suku Riang Borot. Kini, dusun Keluwain dimekarkan menjadi desa defentif (rencana peresmiannya Maret 2007 ini), desa Pepageka kini tinggal tiga dusun, yakni Pepageka, Lewulelek dan Bale dengan penduduk sekitar 1.000 jiwa. 
Sejarah dusun Bale yang kini berlokasi di lereng bukit juga sebenarnya berawal dari bencana banjir bandang yang menerjang desa Pepageka tahun sekitar tahun 1954. Saat itu ketinggian air mencapai 20 meter (seorang warga yang cukup kreatif naik ke atas pohon kelapa lalu menguliti bagian atas batang pohon kelapa persis pada posisi tinggi air sebagai tanda). Tercatat satu orang tewas, sedangkan kerusakan harta benda tak bisa dihitung. Seorang bayi yang baru berumur 3 hari bersama ibunya terpaksa diselamatkan dengan menjebol atap rumah lalu dievakuasi ke tempat aman menggunakan rakit seadanya. Bahkan rumah milik (alm) Muhamad Nur Horan Daen-pemimpin desa Pepageka di masa itu-yang dulunya mempunyai Atu dengan tujuh anak tangga kini tak kelihatan lagi. Yang ada tinggal bangunan rumah aslinya-satu-satunya rumah permanen saat itu, yang seakan menjadi saksi bisu bhakan hingga saat ini. Nuba nara milik suku Pepageka juga terendam air dan baru ditemukan kembali 20 tahun kemudian.
Sejak saat itulah setiap tahun desa Pepageka menjadi langganan banjir. Dalam catatan saya, tahun 1970-an, banjir dari gunung Boleng semula mengalir menyusuri pinggiran desa, persis di belakang rumah mantan Kades (alm) Yulius Sili Beda, lalu bertemu dengan banjir kiriman dari bukit sekitar desa Horinara dan Manga Aleng-yang dikenal dengan wai lein. Sepuluh tahun kemudian banjir berbelok haluan membelah desa, dari Gata Miten hingga tembus ke lapangan sepakbola. Akibatnya lango belen (rumah adapt) rumah adat dan nuba nara milik suku Pepageka yang semula letaknya di atas atu setinggi satu meter kini atu-nya tak kelihatan lagi. Masjid Al-Jihad juga tak luput dari terjangannya. Sepuluh tahun kemudian, alur banjir berpindah lagi. Kali ini menyasar dusun Lewulelek hingga saat ini. Akibatnya, Kapela Santu Hendrikus, rumah adat suku Lewulelek dan nuba nara, jadi korban. Belum termasuk rumah-rumah penduduk.  
Berdasarkan gambaran ini, bisa disimpulkan bahwa terdapat siklus 10 tahunan alur banjir berpindah-pindah tempat. Artinya, memasuki tahun 2000-an, alur banjir seharusnya berpindah lagi ke pinggir dusun Lewulelek, tepatnya sepanjang Puho Bele. Namun yang terjadi, banjir rupanya ogah pindah jalur. Tetap membelah dusun Lewulelek.
Ada dua kemungkinan mengapa bisa begitu. Pertama, jalur banjir yang ada sudah paten-mengambil garis lurus dari pinggir desa Redontena-mengikuti jalurnya sejak zaman bahula. Kedua, kalaupun ada faktor penghalang alamaih yang memaksa banjir berbelok haluan ke kanan mendekati desa Redontena, maka warga Redontena juga tak mau mengalami nasib seperti Pepageka. Mereka pasti berupaya membendungnya agar banjir tak keluar dari alur semula. Artinya, apa yang dilakukan warga Redontena bukan bermaksud ‘mencedarai’ opu alap, ina bine di Pepageka, tetapi itulah pilhan terbaik yang harus dilakukan. Dengan kata lain, dusun Lewulelek selamanya akan menjadi alur permanen jalannya banjir. Lalu apa solusinya? Inilah yang tidak pernah dipikirkan, hingga saat ini, kecuali hanya mengelus dada. **



BAGIAN KETIGA

Sebagai daerah langganan banjir, ada nilai ekonomis yang bisa didapat, yakni tumpukan Lumpur menyuburkan tanah dan menciptakan ladang bisnis Galian C (pasir). Setiap tahun, ribuan kubik pasir menumpuk di desa ini. Tetapi dampak negatif lain yang tak kalah krsuialnya adalah debu. Kalau musim hujan berkubang banjir, musim kemarau berselimut debu. Itulah yang mengilhami saya sehingga pada pertengahan tahun 1975 saya membuat tulisan di Majalah Kunang Kunang terbitan Ende, Flores, ketika saya duduk di kelas VI SD Lambunga. Tulisan itu saya masukan di Pos Surat milik pastor Van Der Hults di Hinga. Mungkin karena kendala geografis, tulisan berjudul ‘Desa Kesayanganku’ itu baru terbit ketika saya sudah duduk di kelas I SMPK AWAS Hinga.
Dua tahun kemudian, tahun 1978, ketika ada kesempatan berkumpul dengan teman di desa Suku Tokan, saya menyempatkan diri memeriksa alur banjir di desa itu (yang tembusannnya ke Pepageka). Meski dalam usia yang sangat mudah, terbesit ide agar suatu saat banjir itu bisa dibuang ke arah timur Suku Tokan, tepatnya di kaki bukit A’o (sebelah timur pasar Laga Loe) hingga tembus ke sebuah kali mati yang sudah ada di ujung Desa Lamabelawa (Witihama) dan dengan sendirinya banjir akan tembus ke laut di Wai Wuring. 
Di lihat dari sudut feasibility study project, proyek sepanjang sekitar 1 km itu bisa dilaksanakan dengan konsekwensinya mengorbankan harta benda masyarakat setempat-sesuatu yang berpotensi menimbulkan persoalan baru. Tetapi saya yakin, dengan pendekatan yang lebih arif, melibatkan tokoh masyarakat, pasti tak sulit dicapai. Itulah alternatif pertama, jika kita tak mau desa Pepageka tenggelam.
Alternatif kedua adalah membuat kanal dari perbatasan Redontena dan Pepageka mengikuti alur banjir yang ada sekarang. Melalui sebuah pesan singkat saya-short measage system (SMS)- kepada Bupati Flores Timur, Simon Hayong, belum lama ini, saya menyampaikan ide soal pembangunan kanal di desa Pepageka (saya menyebut Pepakkelu) untuk mengatasi persoalan banjir, berkaitan dengan Pilkades Pepageka mendatang. Saya katakan, calon kepala desa harus berotak brilian agar bisa menerjemahkan ide saya ini. Entah karena kesibukannnya atau sekedar balas, jawaban yang saya terima dari bupati justru sangat tidak profesional. “Kanal itu dikerjakan oleh kontraktor bukan kades,” balas Bupati Simon.
Bupati mungkin lupa, untuk menghadirkan sebuah proyek raksasa (dalam estimasi saya, pembuatan kanal banjir itu menghabiskan anggaran di atas Rp 1 miliar) di sebuah desa yang mungkin tak memberikan nilai tambah bagi daerah (Flores Timur), kecuali hanya untuk mempertahankan desa itu, bukanlah perkara gampang.
Masalahnya, teringat pertemuan saya dengan Bupati Simon di Hotel The Grand Bali Beach, Sanur, tahun lalu. Saat itu bupati mengeluh bahwa Pemkab Flores Timur tak punya uang. Saya juga relasitis, proyek sebesar itu sangat kecil kemungkinan dibiayai total oleh Pemkab Flotim, kecuali Pemkab dan DPRD Flotim berbaik hati menganggarkan dalam APBD yang kemudian dikerjakan oleh kontraktor, seperti balasan SMS bupati tadi. Tetapi apakah itu bisa? Hanya bupati Simon dan DPRD Flores Timur yang bisa menjawabnya.
Karena itu, daripada menunggu sesutu yang tak pasti-ibarat menunggu muzizat dari langit, saya tetap berkeinginan agar calon Kades Pepageka kelak haruslah seorang berotak cerdas, rela berkorban semat-mata untuk membangun lewo tana. Bukan sekedar gengsi untuk medapat legitimasi status sosial. Bukan pula sebuah pekerjaan yang harus direbut supaya tidak disebut pengangguran di desa. **

   

BAGIAN KEEMPAT

Lalu fugur seperti apa yang diinginkan oleh masyarakat untuk memimpin lewo tana Pepageka? Buat saya, pertanyaan ini mudah dijawab. Kembalinya Pepageka menjadi nama desa, setelah 40 tahun ‘dipaksa’ mengganti namanya menjadi Pepakkelu, seakan mengembalikan kharisma dan nilai heroik desa Pepageka seperti ditanamkan oleh pemimpinnya, (alm) Muhamad Nur Horan Daen. Tanpa bermaksud mengecilkan peran dua saudaranya, Ama Pue Tewa (Riang Borot) dan Ama Kia Lasan (Lewulelek)-keduanya juga sudah almarhum-, Ama Horan rela digebuk oleh tentara Belanda di Bao Puken, desa Hinga, hingga babak belur karena mati-matian tak mau desanya tunduk pada kekuasaan pemimpin Hinga saat itu. Dalam internal desanya, dia menjadi tokoh pemersatu, rela mengorbankan harta bendanya untuk membantu warganya yang dalam kesulitan. Dalam hal mengambil keputusan penting misalnya, ‘tiga serangkai’ ala Pepageka itu duduk bersama membicarakannya lalu dialah yang memutuskan. Kunci sukses kepempinan demikian terletak pada kekompakan mereka bertiga dengan tetap menghargai posisi dan peran masing-masing serta nilai-nilai kearifan lokal yang melekat padanya. Satu hal yang menjadi kelemahan Ama Horan dan kedua saudaranya tadi-jika itu dianggap demikian-adalah mereka tak pernah memikirkan bagaimana mengatasi banjir. Pola pikir mereka masaih sangat sederhana, justru mereka sangat bangga karena dengan banjir itu, daerah mereka menjadi sangat subur. Tapi pantaskah itu sebagai sebuah kelemahan, sementara negeri ini saat itu masih amburadul? Adalah menjadi tugas generasi penerus mereka untuk memikirkannya.
Sayang, nilai-nilai kepemimpinan semacam itu hampir tidak ditemukan pada sebagian besar para pemimpin desa yang menggantikan mereka. Setiap pergantian kepala desa, yang diributkan adalah kepentingan sesaat. Yang dimunculkan adalah kepentingan sosial dan agama dengan mengaburkan nilai-nilai kearifan lokal. Memang, di era modern dan di alam demokrasi ini, siapa saja dan dari suku mana saja berhak dicalonkan dan mencalonkan diri. Tetapi jika dicermati, kepentingan sosial dan agama sangat kental. Apabila diurut, pertama calon haruslah A, atau B, atau C, asal bukan dari keturunan ‘tiga serangkai’ tadi. Kalau calonnya sudah didapat, masih dilihat lagi, dia harus dari agama ‘kita’, bukan dari agama ‘mereka’. Meski hal ini ditutup-tutupi, tetapi saya bisa merekam semua tingkah laku para cerdik pandai di desa Pepageka sudah sejak lama.
Ketika sedang mempersiapkan naskah ini, saya mendapat tiga SMS dari Pepageka, dari tiga orang teman yang biasa saya sita waktunya untuk membcicarakan hal ini sambil minum tuak setiap ada kesempatan saya berlibur. Ketiga teman baik saya itu menginformasikan tentang figur-figur yang mulai diendus dan siapa-siapa di balik figur itu, sehingga makin menguatkan analisis ini; masih tetap mengedepankan kepentingan sosial dan agama, mengeliminir kearifan lokal. Dan saya yakin, figur-figur yang disebut-sebut itu juga tidak pernah memikirkan persoalan krusial yang sudah berjalan lebih dari 50 tahun (banjri).  
Kini, seluruh warga desa Pepageka harus sadar, tidak boleh lagi tertipu oleh orang-orang pintar yang selama ini bertepuk dada mengaku membangun lewo tana (kampung halaman). Bahaya besar sudah di depan mata. Banjir tahunan jangan dilihat sebagai rutinitas semata, tapi harus ada upaya antisipatif sebelum bencana yang lebih besar datang. Jika tak mau desa Pepageka tenggelam, maka saatnya kita butuh seorang kepala desa berotak brilian, berhati jujur dan rela berkorban. 
Saya teringat cerita kakek saya, Ama Horan, ketika kembali dari Hinga setelah ‘dipermak’ tentara Belanda. Dengan wajah bopeng dan berlumuran darah, dia memasuki kampungnya-Pepageka- disambut tangis dan air mata warganya. Tapi apa jawabannya? Sambil membentak mereka, dia mengatakan begini: “He, ake tani! Ana ama lake hide lewuk tahnak”. Artinya: Jangan menangis! (sebagai) Anak lelaki harus membela kampung halamanku. Sungguh, sebuah pengorbanan yang tak ternilai harganya. Masa sih, tetesan darahnya itu kemudian tak bermakna bagi anak cucunya? *** 









Tidak ada komentar: