Senin, 07 Juli 2008

Mengunjungi Aceh Setelah Empat Tahun Tsunami Berlalu

Seri tulisan ini pernah dimuat di Harian Fajar Bali, Denpasar, tanggal 30 Juni 2008 dan 2 Juli 2008
Bagian Pertama - 29 Juni 2008
Kapal di Atas Rumah dan Kapal Apung Itu Jadi Museum 

Hampir empat tahun setelah bencana tsunami melanda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), sisa-sisa kekejaman alam-gempa bumi disertai tsunami-masih terasa. Sebuah kapal besar masih teronggok bisu di tengah perumahan warga, sementara bangkai kapal-kapal kecil berserakan di sampingnya. Pemandangan lain, sebuah kapal ikan juga dalam kondisi utuh masih nyangkut di atas tembok sebuah rumah. Kini, kedua kapal itu dijadikan museum tsunami oleh Pemprov NAD sekaligus sebagai obyek wisata baru. Berikut laporan wartawan Fajar Bali di sela-sela meliput  Musabaqah Al-Quran Nasional (MAN) VII yang diselenggarakan oleh PT Telkomsel.

Rahman Sabon Nama-Banda Aceh

Sepintas, menyaksikan wajah NAD selama perjalanan 20 menit dengan bus dari Bandara Sultan Iskandar Muda Blangbintang menuju Hotel Hermes di Banda Aceh, memberikan kesan yang jauh dari bayangan saya. Sepanjang jalan itu, rumah-rumah tradisional masih tegak berdiri, lebih banyak dari rumah-rumah tembok permanent. Aceh sebagai penyumbang devisa terbesar bagi negara dari sector minyak dan gas bumi melalui tambang LNG Arun dan ExxonMobil Oil, ternyata kehidupan masyaakatnya masih sangat tradisional. Pantas saja, seorang rekan wartawan dari Bandung mengibaratkan seperti menyakasikan pemandangan di Sumedang.
Padahal jika mau jujur, bencana alam pada 26 Desember 2004 yang menewaskan lebih dari 200 ribu jiwa itu jusru mendatangkan ‘rezeki’ baru dengan mengalirnya bantuan baik dari dalam dan maupun luar negeri, sehingga seharusnya membuat kehidupan masyarakat Aceh jauh lebih baik. “Empat tahun berlalu tapi kerja BRR (Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi NA-Red) masih amburadul,” ketus Mulyadi, pria asli Aceh yang menjemput kami. Aceh memang masih tertinggal. Itulah sekilas wajah pinggiran ibukota Banda Aceh, bagaimana dengan daerah pedalam Aceh lainnya? 
Meski begitu, rasa sedih akibat bencana kemanusiaan hingga mengetuk hati mantan Presiden AS Bill Clinton maupun actor film laga Jacky Chan sehingga mereka datang ke Aceh, tampaknya sudah pulih di hati sebagian besar masyarakat NAD. Itu bisa disaksikan dari berbagi aktifitas masyarakatnya. Tetapi, trauma bencana itu pasti tak bisa hilang begitu saja. Malah, peritiwa itulah yang menjadi pelajaran, tak hanya bagi masyarakat Aceh tetapi seluruh umat manusia di dunia, dengan membangun sistim peringatan dini tsunami di mana-mana. 
Di Banda Aceh, bekas kapal milik PLN yang sebelumnya berfungsi sebagai PLTD Apung yang mampu menghasilkan listrik 10 MW yang terseret gelombang tsunami dari Pantai Ulele sejauh lima kilometer ke tengah kota Banda Aceh, tepatnya di Kelurahan Punge Blangcut, Kecamatan Jaya Baru; kini menjadi museum alami untuk menggambarkan betapa ganasnya gelombang tsunami.
Kapal sepanjang 63 meter dan lebar 20 meter berbobot 2,600 ton itu pada bagian lambungnya sudah mulai karatan, tetapi di bagian dalamnya terlihat masih bersih. Menurut seorang guide dadakan yang setiap hari mengais rezeki di atas kapal, selama musim liburan sekolah, setiap hari kapal ini dikunjungi 100-200 orang, yang datang dari seuruh Aceh maupun di luar Aceh, termasuk turis manca negara. “Kalo sebelum liburan, sekitar 50-100 orang per hari,” akunya, sambil menyilakan Fajar Bali untuk memasukan sumbangan seikhlas kita ke dalam kotak yang sudah disediakan. “Sekedar pengganti ongkos bersih-bersih kapal,” tambah rekannya.
Di sisi barat kapal ini, lahan seluas sekitar 0,5 hektar-eks perumahan warga yang disapu tsunami-sudah dibangun Taman Edukasi Tsunami tapi landscape-nya terkesan asal-asalan. Sementara di sisi selatan kapal itu masih dikerumuni rumah-rumah yang ternyata tahan bantingan tsunami sehingga luput dari amukan gelombang raksasa itu.
Hery, salah seorang pemlik rumah mengatakan, sudah ada pendekatan dari Pemprov NAD agar warga di sekitar itu merelakan tanahnya untuk perluasan taman tsnumai tadi.
Sekitar lima kilometer dari situ, pemandangan mengerikan sisa-sisa keganasan glombang tsunami terlihat di Pantai Ulele. Sebuah kapal ikan sepanjang 20 meter dengan lebar empat masih nyangkut di atas tembok rumah H. Misbach, dan kini menjadi musem dan obyek wisata. Menurut penjaga museum itu, justru karena kapal nyangkut di rumahnya itulah sehingga bisa menyelamatakan Misbach dan keluargaya. Sebab, pada saat kejadian, begitu air laut memasuki rumahnya, Misbach dan keluarganya berusaha menyelamatkan diri naik ke atas atap di lantai dua dengan menjebol plafon. “Untung ada kapal di atas itu sehingga mereka langsung naik ke kapal, tinggal di situ sampai air surut. Selamatlah seluruh keluarga Misbach” terangnya.
Awalnya, kapal itu nangkring di atas atap, lalu tembok rumah Misbach dipermak seperti tiang jalan tol untuk menyanggah kapal sehingga kondisinya seperti sekarang ini. Agar pengunjung bisa naik ke atas kapal, pemerintah membangun jalan masuk dari di sisi utara memutar ke barat hingga ke atas kapal. Di tengah halaman antara kapal dan jalan masuk tadi sebuah kotak amal diletakan di situ, siapa tahu ada turis yang masih mau peduli dengan nasib mereka.**  
 
Bagian Kedua - 30 Juni 2008
Lahan Kosong Itu Ternyata Kuburan Masal 

Jika tak ada papan nama di depannya, setiap orang yang lewat di situ pasti tak menyangka bahwa lahan kosong seluas setengah hektar yang diberi pagar knock down (pisah-pisah) di sekelilingnya itu adalah kuburan ribuan korban tsunami yang tak bisa dikenali. Tak jauh dari situ, masih tegak berdiri Masjid Baiturrahim, satu-satunya bangunan di kampung Ulele-kampung Cut Keke-yang sanggup menahan gempuran tsunami, padahal jaraknya hanya sekitar 20 meter dari bibir pantai Ulele. 

Rahman Sabon Nama-Banda Aceh

Sederhana sekali! Itulah kondisi Kuburan Masal Taman Makam Syuhada Korban Tsunami 26 Desember 2006 yang dikelola oleh Subdin Pemakaman, Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Banda Aceh. Tidak ada nisan, tidak ada tanaman kembang warna-warni seperti terlihat di kuburan pada umumnya. Yang ada di lahan kosong itu hanya rumput Jepang yang tampak tak terurus karena sebagiannya sudah pada mati, dan beberapa batu besar entah untuk apa. Barangkali yang agak ‘membanggakan’ arwah para syuhada korban tsunami 26 Desember 2006 ini, mungkin karena pintu gerbangnya sedikit mentereng karena dihiasi ukiran sebuah ayat Al-Quran, yang isinya mengingatkan manusia bahwa ada hikmah di balik sebuah becana.  
Kesederhanaan itu seakan melengkapi wajah Kota Banda Aceh pada umumnya, yang tampak kusam, berdebu, di bawa sengatan matahai hingga mencapi 35 derajat Celcius; kecuali kawasan sekitar Masjid Raya Baiturrahman, mascot Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Hasil alam yang melimpah seperti gas alam dan minyak tak membuat masyarakat Aceha hidup dalam kemakmuran. Asal tahu saja, umumnya perkantoran termasuk kantor gubernur Aceh sekalipun tidak ditemukan taman bunga ataupun lukisan mahal penghias dinding. Kota Banda Aceh, tak sebekan namanya.  
Padahal, tak lama setelah gempa bumi disertai tsunami hingga menenggelamkan sebagian wilayah Aceh, pemerintah RI mengeluarkan Kepres tentang Badan Rekonstruksi dan Rehablitasi (BRR) Aceh. Namun, meski sudah empat tahun, kinerja BRR masih dipertanyakan warga Aceh. Masalahnya, beberapa kebutuhan mendesak yang seharusnya sudah selesai dibangun, namun sampai sekarang belum kelar. Kalaupun sudah selesai, juga terkesan asal-asalan. Lihat saja proyek infrastruktur di pelabuhan Ulele. Jalan utama-persis di depan kuburan masal tadi-menuju pelabuhan Ulele sampai sekarang masih sebatas pengerasan. Di sisi kiri kanan jalan itu, banyak gedung sisa-sisa korban gempa dan tsunami dibiarkan tak terurus. Begitu juga rumah-rumah tipe 36 yang dibangun BRR untuk warga Aceh, sebagian sudah ditumbuhi rumput setinggi jendela karena tak ada penghuninya. 
Ironisnya, sebagian warga lebih memilih tinggal di barak-barak pengungsian hingga sekarang. Dari beberapa warga yang sempat diwawancarai, mereka enggan menempati rumah tersebut dengan berbagai alasan. Ada yang beralaan karena kualitas bangunan tidak sebaik dengan rumah yang dibangun NGO asing. Untuk dinding misalnya, BRR menggunakan material kayu dengan perhitungan tahan gempa, sementara NGO menggunakan tembok. Selain itu, walaupun tipe rumahnya sama-tipe 36, ternyata rumah BRR itu ukurannya lebih kecil. Ada juga yang menolak menempati rumah karena luas lahan yang diberikan secara gratis itu tidak sebanding dengan milik mereka yang hilang.
Tetapi sumber lain Fajar Bali memberi jawaban yang masuk akal. Sebenarnya, mereka sudah mendapat rumah tetapi dikontrakan lagi kepada orang lain dan mereka kembali ke barak. Mana yang benar, belum bisa ditelusuri ke pihak yang paling berkompoten yaitu BRR Aceh. 
Tetapi, Sekretaris Pemprov NAD, Husni Basri Tob, S.H., M.M., M.Hum, punya pendapat lain, ketika ditemui seusai meresmikan kantor Grapari Telkomsel di Jalan Teuku Daud Beureueh No. 161 Banda Aceh, Senin (30/6/2008) siang. Dikatakan, penempatan rumah-rumah itu sudah ditangani secara khusus oleh pantia yang dibentuk BRR Aceh supaya tidak terjadi duplikasi sehingga agak selektif. “Tujuannya supaya orang yang bernar-benar berhak yang menempati,” katanya.
Cuma, kesulitannya, secara sosiologis masyarakat Aceh menganut community colegial-senang hidup berkumpul-sehingga mereka menolak menempati rumah dalam ukuran kecil. Lagi pula masyarakat Aceh, sesuai syaritat Islam yang dianutnya, dalam satu keluarga, orang tua dan anak-anaknya tidak dibenarkan tinggal sekamar. “Kecuali anak masih menyusui, tapi kalau anaknya sudah memasuki SD, dia harus puya kamar sendiri, tdak boleh gabung. Jadi kalau kamarnya cuma dua, ke mana anaknya tidur, itulah salah satu kendalanya,” jelasnya.
Mengenai pembangunan infrastruktur, terutama jalan dan pelabuhan, di Pelabuhan Ulele, yang hingg sekarang belum kelar, Husni Basri tak mau berkomentar karena itu bukan kewenangannya, melainkan BRR. Namun, Husni Basri tak menampik masih ada warag Aceh hidup di barak-barak pengungsian, terutama di kampung artis Cut Keke tadi. “Tetapi secara bertahap, barak-barak itu akan digusur, supaya mereka menempati rumah yang disediakan pemerintah,” kilahnya.
Terlepas dari itu, soal kehidupan di barak pengungsian itu, Mulyadi yang pernah bergabung dengan Care, sebuah NGO asing yang berpartisipasi membangun Aceh, punya ceritra mengejutkan. “Di barak itu banyak terjadi seks bebas,” katanya membuka rahasia.”Di situ hanya disekat-sekat, jadi gampang terjadi perselingkuhan. Mereka juga manusia. Daripada stress memikirkan harta benda atau anak istri yang hilang,” ceritra Mulyadi yang selama empat hari menemani wartawan peliput MAN VII Telkom Group. **
 

Tidak ada komentar: